Monday, September 25, 2017

HASIL ANALISIS PRAGMATIK Deiksis Dalam Cerpen “Bukan Orang Gila”


HASIL ANALISIS PRAGMATIK
Deiksis Dalam Cerpen “Bukan Orang Gila”

Bukan Orang Gila
Senja menjelang malam. Di punggung bukit ini mentari bersandar. Bias cahayanya lembut mewarnai langit barat. Sadar atau tidak sadar bias cahaya itu telah mengubah wajah bukit sandaran matahari ini jadi sebuah fenomena: tentang perubahan sebuah lukisan realis yang tanpa ada satu garis pun melenceng, menjadi sebuah siluet bukit dengan jejeran nyiur berlatar langit senja kemerah-merahan. Indah.
Aku tengah menikmati keindahan fenomena itu ketika tiba-tiba aku mendengar suara dari bukit memecah keheningan. Awalnya tidak kuhiraukan. Kemudian terdengar lagi suara yang sama seperti memanggil seseorang. Suara itu semakin kuat dan bahkan menjadi teriakan yang menggema di dinding bukit. “Orang gila…! Rang gila…! Gila…! Ila…! La…! A…!” Teriakan itu bergema di dinding-dinding bukit. Kurang ajar. Seenaknya saja memanggilku orang gila. Aku ini bukan orang gila. Huh! Rupanya orang itu adalah satu-satunya orang yang tidak tahu apa yang terjadi beberapa hari lalu. Dia tentunya tidak tahu bahwa belum genap seminggu yang lalu, aku, dengan segala kesadaran dan tanpa sedikitpun kegilaan, menjawab pangilan suciku dengan mengikrarkan kaul-kaul kebiaraanku. Gila! Tak ada hujan tak ada angin, dia memanggilku gila. “Kau yang gila,” gerutuku dalam hati.
Seperti mengetahui apa yang kupikirkan, suara itu terdengar lagi dari bukit.
“Betul, aku adalah orang gila. Dia adalah orang gila. Dan, Anda pun adalah orang gila. Kita semua adalah orang gila! Sadar atau tak sadar, kita semua yang ada di bukit ini adalah orang gila. Orang gila! Ha… ha… ha…. Kita adalah orang gila!”
Aku diam. Dalam hatiku aku berjanji, kalau ia bersuara lagi akan kubantah habis-habisan. Tetapi, bagai bias mentari, suara itu tenggelam di balik bukit, meninggalkanku sendiri. Sialnya, tenggelamnya suara itu tak membuatku tenang. Malah sebaliknya, teriakan itu membuatku galau. Gema suara itu terus terdengar jelas di telingaku. Aku sendiri mulai menghujani diriku dengan rentetan pertanyaan yang tak dapat kujawab. Sial.
Benarkah aku ini orang gila? Sungguhkah semua orang yang ada di bukit sandaran mentari ini adalah orang gila? Mungkinkah selama ini aku tak menyadari kalau sesungguhnya aku adalah orang gila? Tetapi, apa mungkin orang gila sadar kalau dia adalah orang gila? Mengapa tiba-tiba aku jadi tidak sepenuhnya yakin kalau aku adalah manusia waras? Adakah ini pertanda bahwa aku mulai menjadi gila? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengusik batinku. Aku jadi begitu sulit tidur. Kucoba tenangkan diriku. Aku bertekad menggungat pemilik suara itu saat ia datang bersama mentari yang terbit. Menjelang dini hari aku tertidur.
Mentari terbit, terbenam, terbit lagi, lalu terbenam pula. Tiga minggu telah berlalu. Fenomena di bukit sandaran matahari itu terjadi dari hari ke hari. Semakin indah tiap harinya. Orang-orang di bukit ini tampak biasa-biasa saja. Mereka berjalan, berlari, menari, menyanyi tanpa ada beban tentang gila dan waras. Aku masih sulit tidur.
“Apa mereka sudah sungguh sadar bahwa mereka adalah orang gila, sehingga mereka menikmati kegilaan mereka?” aku membatin.
Suatu senja menjelang malam. Di punggung bukit ini, mentari bersandar lagi. Lembut bias cahayanya mewarnai langit barat. Aku tengah menikmati fenomena itu, ketika kuputuskan menulis catatanku.
Bukit Sandaran Mentari….
Tiga minggu sudah berlalu. Aku belum juga sungguh menyadari kalau aku adalah orang gila yang berada di antara orang-orang gila lainnya. Tetapi mungkin benar ini adalah bukit tempat berkumpulnya orang-orang gila. Bisa jadi semua penghuni bukit ini adalah orang gila. Betapa dasyatnya tempat ini dan aku tidak menyadarinya.
Ya… kami adalah orang-orang gila. Dunia tidak pernah tahu, kalau keberadaan kami di sini adalah untuk saling meneguhkan dan mendukung satu sama lain menjadi yang paling gila di antara yang sungguh-sungguh gila. Aku akui, aku belum sepenuhnya menyadari kalau kenyataannya ternyata segila ini. Tetapi aku bangga dengan ini semua. Sebab bahkan kenyataan yang segila inipun masih menyimpan potensi-potensi yang jauh lebih gila lagi untuk kegilaan-kegilaan yang tak pernah dibayangkan dan dipikirkan dalam sejarah.
Aku belum sungguh menyadari ini. Tetapi, malam ini aku sungguh yakin kalau Ia, adalah orang gila   semua orang gila akan senantiasa menuntunku di tapak-tapak gila ini. Aku yakin, dalam bimbinganNya, suatu hari nanti, aku akan sungguh menyadari kalau sesungguhnya aku adalah orang gila di antara orang gila lainnya. Saat itulah dunia akan menilai tentang orang waras yang tidak menyadari kewarasannya dan orang gila yang sungguh menyadari kegilaannya.

Malam ini aku dapat tidur dengan nyenyak.
Dalam ruang dan waktu yang gila…
Cerpen Karangan: Oan Wutun
Keterangan :

Deiksis Persona

Deiksis Spasial

Deiksis Temporal

* Deiksis

Penjelasan:
1.      Deiksis Persona
a.       Paragraf Pertama
-          Cahayanya
Karena kata “-nya” bermakna kepunyaan dia. Dia di sini adalah matahari yang tergolong suatu benda.
-          Sebuah siluet bukit
Karena Kata “Sebuah” menunjukan suatu benda. Dimana benda termasuk persona.
b.      Paragraf Kedua
-          Aku
Kata aku tergolong dieksis persona.
-          Kuhiraukan, memanggilku, kebiaraanku, gerutuku (mengandung “ku”)
Karena kata “ku” mewakili kata aku sebagai orang pertama tunggal.
-          Dia, orang itu, suara itu.
Mewakili orang ketiga tunggal.
-          Seseorang
Menunjukan orang yang belum pasti.
c.       Paragraf Ketiga
-          Anda
Merupakan orang kedua tunggal.
-          Aku
Merupakan orang pertama tunggal.
-          Dia
Merupakan orang ketiga tunggal.
-          Kita
Merupakan orang pertama jamak.
-          Orang gila
Merupakan kata ganti orang ketiga.
-          Kupikirkan
Merupakan kelakuan orang pertama.
d.      Paragraf Keempat
-          Aku
Merupakan orang pertama tunggal.
-          Hatiku, kubantah, meninggalkanku, membuatku, diriku, ku jawab.
Mewakili orang pertama tunggal.
-          Teriakan itu, Suara itu
Bermaksud menunjukan suara seseorang dan merupakan orang kedua atau ketiga.
-          Ia
Orang ketiga tunggal.                  
e.       Paragraf Kelima
-          Aku
Merupakan orang pertama tunggal
-          Orang gaib, manusia waras, pemilik suara itu.
Merupakan pengganti kata orang.
-          Semua orang
Merupakan dieksis persona.
-          Ia
Merupakan orang ketiga tunggal.
f.       Paragraf keenam
-          Orang-orang
Merupakan orang  yang jamak.
-          Mereka
Merupakan orang ketiga jamak.
-          Aku
Merupakan orang pertama tunggal.
g.      Paragraf ketujuh
-          Mentari
Merupakan persona benda.
-          Cahayanya
Ada “-nya” bermakna mewakili orang ketiga tunggal.
-          Aku
Merupakan orang pertama tunggal.
-          Kuputuskan, catatanku.
Ada kata “ku” mewakili orang pertama tunggal.
h.      Paragraf kedelapan
-          Aku
Merupkan orang pertama tunggal.
-          Orang gila
Merupakan kata persona mewakili julukan.
-          Semua penghuni
Merupakan kata ganti orang jamak.
i.        Paragraf kesembilan
-          Kami
Merupakan orang pertama jamak.
-          Orang-orang gila, orang waras
Merupakan menunjukan julukan.
j.        Paragraf kesepuluh
-          Aku
Orang pertama tunggal.
-          Semua orang gila
Menunjukan banyak manusia gila.
-          Menuntunku
Mengarah kepada orang pertama tunggal.
-          Kewarasannya, kegilaannya
Menunjukan ke orang.
-          Dunia
Kata dunia seorang berprilaku seperti manusia.
2.      Deiksis waktu
a.       Paragraph pertama
-          Senja menjelang malam
Menunjukkan waktu yang mulai beranjak malam karena kata senja identic dengan matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat.
b.      Paragraph kedua
-          Ketika tiba-tiba
Keadaan waktu yang tidak direncanakan terjadi yang membuat tokoh aku tersentak.
-          Awalnya
Waktu saat pertama kali yang tidak diindahkan oleh tokoh.
-          Kemudian
Keadaan di mana tokoh mengalami hal yang sama seperti sebelumnya.
-          Beberapa hari lalu
Keadaan waktu yang sudah dilalui oleh tokoh beberapa kali dalam waktu 24 jam tetapi tokoh tidak tahu berapa kali waktu itu.
-          Belum genap seminggu yang lalu
Keadaan waktu yang sudah dilalui tokoh beberapa hari tetapi masih ada waktu yang harus dilalui untuk menyempurnakannya.
c.       Paragraph kelima
-          Selama ini
Waktu yang ditempuh oleh tokoh dalam waktu yang cukup lama dan masih melakukannya hingga sekarang, akan tetapi tokoh tidak bisa menggitung waktu yang ditempuh tersebut.
-          Tiba-tiba
Suatu keadaan waktu yang tampa tokoh sadari terjadi.
-          Saat
Suatu keadaan di mana tokoh aku menunggu waktu untuk bertemu dengan sang pemilik suara tetapi kapan waktunya belum diketahui.
-          Datang bersama mentari yang terbit
Suatu keadaan di mana tokoh bertemu pada saat pagi hari sekitar pukul 7 pagi. Maksud dari bersama mentari yang terbit ini bukannya tokoh dating dengan seseorang.
-          Menjelang dini hari
Keadaan waktu yang cukup malam sekitar sepertiga malam tetapi belum tahu jam berapakah itu.
d.      Paragraph keenam
-          Mentari terbit, terbenang, terbit lagi, lalu terbenang pula
Suatu keadaan waktu yang dilalui secara berulang-ulang.
-          Tiga minggu telah berlalu
Suatu keadaan waktu yang berjalan dan dilalui sudah tiga pekan.
-          Dari  hari ke hari
Keadaan waktu yang dilalui 24 jam ke 24 jam berikutnya.
-          Tiap harinya
Seadaan waktu yang terus berjalan dari hari ke hari berikutnya.
e.       Paragraph ketujuh
-          Suatu senja menjelang malam
Suatu keadaan waktu di mana matahari berada di ufuk barat dan mulai mengilang.
-          Ketika
Suatu keadaan waktu yang mengingatkan akan suatu hal pada waktu tertentu.
f.       Paragraph kesembilan
-          Malam ini
Suatu keadaan waktu di mana tokoh berada sekarang dan waktu saat langit gelap gulita dan berbintang, keadaan ini biasanya waktu untuk tidur.
-          Suatu hari nanti
Suatu keadaan waktu yang belum tahu kapan tetapi waktu ini berada di masa depan.
-          Waktu yang gila
Maksud dari “waktu yang gila” bukan waktu yang mengalami kegilaan tetapi tokoh merasakan suatu keadaan yang membuatnya merasa gila pada waktu yang dilaluinya.
3.      Deiksis tempat
a.       Paragraph pertama
-          Di punggung bukit ini
Maksud di atas adalah tokoh sedang berada di atas bumi tempat manusia hidup. Kata punggung hanya sebagai gaya Bahasa dalam sastra.
b.      Paragraph kedua
-          Dari bukit
Maksunya tokoh mendengar suara di dalam bumi tersebut. Keadaan ini dialami oleh tokoh karena tokoh tersebut gila, secara logika bukankah bumi tempat orang-orang hidup dan pasti ada masyarakat.
-          Di dinding bukit
Maksudnya suara teriakan itu menggema di sudut-sudut  bumi. Secara logika bukan hanya dia yang hidup di bumi tersebut tetapi banyak orang. Jadi wajar bila ada suara-suara.
-          Dalam hati
Maksudnya tokoh berbicara sendiri dalam hati.
c.       Paragraph keempat
-          Di balik bukit
Maksudnya tokoh diarjinalkan sendirian, atau ditinggal sendiri lagi karena tokoh masyarakat telah puas mengejeknya dengan mengatakan bahwa dia adalah orang gila.
d.      Paragraph kelima
-          Di bukit ini
Maksudnya orang-orang melakukan aktifitas seperti biasanya di bumi tempat ia dan orang-orang hidup.
e.       Paragraph kesembilan
-          Berada di antara
Maksudnya tokoh berada ditengah orang-orang, artinya tokoh hidup di tengah orang-orang atau masyarakat.
-          Ini adalah bukit tempat berkumpulnya
Maksudnya adalah suatu tempat atau bumi di mana orang-orang hidup di dalamnya.
f.       Paragraph kesepuluh
-          Di sini
Maksudnya tempat di mana ia dan orang-orang hidup, bukan tempat dia berdiri atau duduk.
-          Di tapak-tapak gila ini
Maksudnya, tokoh mengutuk bahwa tanah yang ia tinggali sekarang ini adalah tempat yang gila.
-          Dalam ruang
Maksudnya tokoh berada di dalam sebuah tempat yang gila.







Artikel Terkait


EmoticonEmoticon