HASIL ANALISIS PRAGMATIK
Deiksis
Dalam Cerpen “Bukan Orang Gila”
Bukan
Orang Gila
Senja menjelang malam. Di punggung bukit ini mentari bersandar. Bias cahayanya lembut mewarnai langit barat. Sadar atau
tidak sadar bias cahaya itu
telah mengubah wajah bukit sandaran matahari ini jadi sebuah fenomena: tentang perubahan sebuah lukisan
realis yang tanpa ada satu garis pun melenceng, menjadi sebuah siluet bukit dengan jejeran nyiur
berlatar langit senja kemerah-merahan. Indah.
Aku tengah menikmati keindahan fenomena itu ketika tiba-tiba aku mendengar suara dari bukit memecah
keheningan. Awalnya
tidak kuhiraukan. Kemudian terdengar lagi
suara yang sama seperti memanggil seseorang. Suara
itu semakin kuat dan bahkan menjadi teriakan yang menggema di dinding bukit. “Orang gila…! Rang gila…! Gila…!
Ila…! La…! A…!” Teriakan
itu bergema di
dinding-dinding bukit. Kurang ajar. Seenaknya saja memanggilku orang gila. Aku ini bukan orang gila.
Huh! Rupanya orang itu
adalah satu-satunya orang
yang tidak tahu apa yang terjadi beberapa hari lalu. Dia tentunya tidak tahu bahwa belum genap seminggu yang lalu, aku, dengan segala kesadaran
dan tanpa sedikitpun kegilaan, menjawab pangilan suciku dengan mengikrarkan kaul-kaul kebiaraanku. Gila! Tak ada
hujan tak ada angin, dia
memanggilku gila. “Kau yang gila,” gerutuku dalam hati.
Seperti mengetahui apa yang kupikirkan, suara itu terdengar lagi dari bukit.
“Betul, aku adalah orang gila. Dia adalah orang gila. Dan, Anda pun adalah orang gila. Kita semua adalah orang gila! Sadar atau tak sadar, kita semua yang ada di bukit ini adalah orang gila. Orang gila! Ha… ha… ha…. Kita adalah orang gila!”
“Betul, aku adalah orang gila. Dia adalah orang gila. Dan, Anda pun adalah orang gila. Kita semua adalah orang gila! Sadar atau tak sadar, kita semua yang ada di bukit ini adalah orang gila. Orang gila! Ha… ha… ha…. Kita adalah orang gila!”
Aku diam. Dalam hatiku aku
berjanji, kalau ia
bersuara lagi akan kubantah
habis-habisan. Tetapi, bagai bias mentari, suara itu tenggelam di balik bukit, meninggalkanku sendiri. Sialnya, tenggelamnya suara itu tak membuatku tenang. Malah
sebaliknya, teriakan itu
membuatku galau. Gema suara
itu terus terdengar jelas di telingaku.
Aku sendiri mulai
menghujani diriku
dengan rentetan pertanyaan yang tak dapat kujawab. Sial.
Benarkah aku ini orang gila? Sungguhkah semua orang yang ada di bukit sandaran mentari ini
adalah orang gila?
Mungkinkah selama ini
aku tak menyadari kalau sesungguhnya aku adalah orang gila? Tetapi, apa mungkin orang gila sadar kalau dia adalah orang gila? Mengapa tiba-tiba aku jadi tidak sepenuhnya
yakin kalau aku adalah manusia
waras? Adakah ini
pertanda bahwa aku
mulai menjadi gila? Pertanyaan-pertanyaan
itu terus mengusik batinku.
Aku jadi begitu sulit
tidur. Kucoba tenangkan
diriku. Aku bertekad menggungat pemilik suara itu saat ia datang bersama mentari yang terbit. Menjelang dini hari aku tertidur.
Mentari terbit, terbenam, terbit lagi, lalu terbenam pula.
Tiga minggu telah berlalu.
Fenomena di bukit
sandaran matahari itu
terjadi dari hari ke hari.
Semakin indah tiap harinya.
Orang-orang di bukit ini tampak
biasa-biasa saja. Mereka
berjalan, berlari, menari, menyanyi tanpa ada beban tentang gila dan waras. Aku masih sulit tidur.
“Apa mereka sudah sungguh sadar bahwa mereka adalah orang gila, sehingga mereka menikmati kegilaan mereka?” aku membatin.
“Apa mereka sudah sungguh sadar bahwa mereka adalah orang gila, sehingga mereka menikmati kegilaan mereka?” aku membatin.
Suatu senja menjelang malam. Di punggung bukit ini, mentari bersandar lagi.
Lembut bias cahayanya
mewarnai langit barat. Aku
tengah menikmati fenomena itu, ketika kuputuskan
menulis catatanku.
Bukit Sandaran Mentari….
Tiga minggu sudah berlalu. Aku belum juga sungguh menyadari kalau aku adalah orang gila yang berada di antara orang-orang gila lainnya.
Tetapi mungkin benar ini
adalah bukit tempat berkumpulnya orang-orang gila. Bisa jadi semua penghuni bukit ini adalah orang gila. Betapa dasyatnya tempat ini dan aku tidak menyadarinya.
Ya… kami adalah orang-orang gila. Dunia tidak pernah tahu, kalau
keberadaan kami di sini adalah untuk saling
meneguhkan dan mendukung satu sama lain menjadi yang paling gila di antara yang
sungguh-sungguh gila. Aku akui,
aku belum sepenuhnya
menyadari kalau kenyataannya ternyata segila ini. Tetapi aku
bangga dengan ini semua.
Sebab bahkan kenyataan yang segila inipun masih menyimpan potensi-potensi yang
jauh lebih gila lagi untuk kegilaan-kegilaan yang tak pernah dibayangkan dan
dipikirkan dalam sejarah.
Aku belum sungguh menyadari
ini. Tetapi, malam ini
aku sungguh yakin kalau Ia,
adalah orang gila semua orang gila akan senantiasa
menuntunku di tapak-tapak gila ini. Aku yakin, dalam bimbinganNya, suatu hari nanti, aku akan sungguh menyadari kalau sesungguhnya aku adalah orang gila di antara orang gila lainnya. Saat
itulah dunia akan menilai tentang orang waras yang tidak menyadari
kewarasannya dan orang gila yang sungguh
menyadari kegilaannya.
Malam ini aku dapat tidur dengan
nyenyak.
Dalam ruang dan waktu yang gila…
Cerpen
Karangan: Oan Wutun
Keterangan :
|
Deiksis
Persona
|
|
Deiksis
Spasial
|
|
Deiksis
Temporal
|
|
* Deiksis
|
Penjelasan:
1. Deiksis
Persona
a. Paragraf
Pertama
-
Cahayanya
Karena kata “-nya”
bermakna kepunyaan dia. Dia di sini adalah matahari yang tergolong suatu benda.
-
Sebuah siluet bukit
Karena Kata “Sebuah”
menunjukan suatu benda. Dimana benda termasuk persona.
b. Paragraf
Kedua
-
Aku
Kata aku tergolong
dieksis persona.
-
Kuhiraukan, memanggilku, kebiaraanku,
gerutuku (mengandung “ku”)
Karena kata “ku”
mewakili kata aku sebagai orang pertama tunggal.
-
Dia, orang itu, suara itu.
Mewakili orang ketiga
tunggal.
-
Seseorang
Menunjukan orang yang
belum pasti.
c. Paragraf
Ketiga
-
Anda
Merupakan orang kedua
tunggal.
-
Aku
Merupakan orang pertama
tunggal.
-
Dia
Merupakan orang ketiga
tunggal.
-
Kita
Merupakan orang pertama
jamak.
-
Orang gila
Merupakan kata ganti
orang ketiga.
-
Kupikirkan
Merupakan kelakuan
orang pertama.
d. Paragraf
Keempat
-
Aku
Merupakan orang pertama
tunggal.
-
Hatiku, kubantah, meninggalkanku,
membuatku, diriku, ku jawab.
Mewakili orang pertama
tunggal.
-
Teriakan itu, Suara itu
Bermaksud menunjukan
suara seseorang dan merupakan orang kedua atau ketiga.
-
Ia
Orang
ketiga tunggal.
e. Paragraf
Kelima
-
Aku
Merupakan orang pertama
tunggal
-
Orang gaib, manusia waras, pemilik suara
itu.
Merupakan pengganti
kata orang.
-
Semua orang
Merupakan dieksis
persona.
-
Ia
Merupakan orang ketiga
tunggal.
f. Paragraf
keenam
-
Orang-orang
Merupakan orang yang jamak.
-
Mereka
Merupakan orang ketiga
jamak.
-
Aku
Merupakan orang pertama
tunggal.
g. Paragraf
ketujuh
-
Mentari
Merupakan persona
benda.
-
Cahayanya
Ada “-nya” bermakna
mewakili orang ketiga tunggal.
-
Aku
Merupakan orang pertama
tunggal.
-
Kuputuskan, catatanku.
Ada kata “ku” mewakili
orang pertama tunggal.
h. Paragraf
kedelapan
-
Aku
Merupkan orang pertama
tunggal.
-
Orang gila
Merupakan kata persona
mewakili julukan.
-
Semua penghuni
Merupakan kata ganti
orang jamak.
i.
Paragraf kesembilan
-
Kami
Merupakan orang pertama
jamak.
-
Orang-orang gila, orang waras
Merupakan menunjukan
julukan.
j.
Paragraf kesepuluh
-
Aku
Orang pertama tunggal.
-
Semua orang gila
Menunjukan banyak
manusia gila.
-
Menuntunku
Mengarah kepada orang
pertama tunggal.
-
Kewarasannya, kegilaannya
Menunjukan ke orang.
-
Dunia
Kata dunia seorang
berprilaku seperti manusia.
2. Deiksis
waktu
a. Paragraph
pertama
-
Senja menjelang malam
Menunjukkan waktu yang
mulai beranjak malam karena kata senja identic dengan matahari yang mulai
tenggelam di ufuk barat.
b. Paragraph
kedua
-
Ketika tiba-tiba
Keadaan waktu yang
tidak direncanakan terjadi yang membuat tokoh aku tersentak.
-
Awalnya
Waktu saat pertama kali
yang tidak diindahkan oleh tokoh.
-
Kemudian
Keadaan di mana tokoh
mengalami hal yang sama seperti sebelumnya.
-
Beberapa hari lalu
Keadaan waktu yang
sudah dilalui oleh tokoh beberapa kali dalam waktu 24 jam tetapi tokoh tidak
tahu berapa kali waktu itu.
-
Belum genap seminggu yang lalu
Keadaan waktu yang
sudah dilalui tokoh beberapa hari tetapi masih ada waktu yang harus dilalui
untuk menyempurnakannya.
c. Paragraph
kelima
-
Selama ini
Waktu yang ditempuh
oleh tokoh dalam waktu yang cukup lama dan masih melakukannya hingga sekarang,
akan tetapi tokoh tidak bisa menggitung waktu yang ditempuh tersebut.
-
Tiba-tiba
Suatu keadaan waktu
yang tampa tokoh sadari terjadi.
-
Saat
Suatu keadaan di mana
tokoh aku menunggu waktu untuk bertemu dengan sang pemilik suara tetapi kapan
waktunya belum diketahui.
-
Datang bersama mentari yang terbit
Suatu keadaan di mana
tokoh bertemu pada saat pagi hari sekitar pukul 7 pagi. Maksud dari bersama mentari yang terbit ini bukannya
tokoh dating dengan seseorang.
-
Menjelang dini hari
Keadaan waktu yang
cukup malam sekitar sepertiga malam tetapi belum tahu jam berapakah itu.
d. Paragraph
keenam
-
Mentari terbit, terbenang, terbit lagi,
lalu terbenang pula
Suatu keadaan waktu
yang dilalui secara berulang-ulang.
-
Tiga minggu telah berlalu
Suatu keadaan waktu
yang berjalan dan dilalui sudah tiga pekan.
-
Dari
hari ke hari
Keadaan waktu yang
dilalui 24 jam ke 24 jam berikutnya.
-
Tiap harinya
Seadaan waktu yang
terus berjalan dari hari ke hari berikutnya.
e. Paragraph
ketujuh
-
Suatu senja menjelang malam
Suatu keadaan waktu di
mana matahari berada di ufuk barat dan mulai mengilang.
-
Ketika
Suatu keadaan waktu yang
mengingatkan akan suatu hal pada waktu tertentu.
f. Paragraph
kesembilan
-
Malam ini
Suatu keadaan waktu di
mana tokoh berada sekarang dan waktu saat langit gelap gulita dan berbintang,
keadaan ini biasanya waktu untuk tidur.
-
Suatu hari nanti
Suatu keadaan waktu
yang belum tahu kapan tetapi waktu ini berada di masa depan.
-
Waktu yang gila
Maksud dari “waktu yang
gila” bukan waktu yang mengalami kegilaan tetapi tokoh merasakan suatu keadaan
yang membuatnya merasa gila pada waktu yang dilaluinya.
3. Deiksis
tempat
a. Paragraph
pertama
-
Di punggung bukit ini
Maksud di atas adalah
tokoh sedang berada di atas bumi tempat manusia hidup. Kata punggung hanya
sebagai gaya Bahasa dalam sastra.
b. Paragraph
kedua
-
Dari bukit
Maksunya tokoh
mendengar suara di dalam bumi tersebut. Keadaan ini dialami oleh tokoh karena
tokoh tersebut gila, secara logika bukankah bumi tempat orang-orang hidup dan
pasti ada masyarakat.
-
Di dinding bukit
Maksudnya suara
teriakan itu menggema di sudut-sudut
bumi. Secara logika bukan hanya dia yang hidup di bumi tersebut tetapi
banyak orang. Jadi wajar bila ada suara-suara.
-
Dalam hati
Maksudnya tokoh
berbicara sendiri dalam hati.
c. Paragraph
keempat
-
Di balik bukit
Maksudnya tokoh
diarjinalkan sendirian, atau ditinggal sendiri lagi karena tokoh masyarakat telah
puas mengejeknya dengan mengatakan bahwa dia adalah orang gila.
d. Paragraph
kelima
-
Di bukit ini
Maksudnya orang-orang
melakukan aktifitas seperti biasanya di bumi tempat ia dan orang-orang hidup.
e. Paragraph
kesembilan
-
Berada di antara
Maksudnya tokoh berada
ditengah orang-orang, artinya tokoh hidup di tengah orang-orang atau
masyarakat.
-
Ini adalah bukit tempat berkumpulnya
Maksudnya adalah suatu
tempat atau bumi di mana orang-orang hidup di dalamnya.
f. Paragraph
kesepuluh
-
Di sini
Maksudnya tempat di
mana ia dan orang-orang hidup, bukan tempat dia berdiri atau duduk.
-
Di tapak-tapak gila ini
Maksudnya, tokoh
mengutuk bahwa tanah yang ia tinggali sekarang ini adalah tempat yang gila.
-
Dalam ruang
Maksudnya tokoh berada
di dalam sebuah tempat yang gila.
EmoticonEmoticon