BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa
manusia merupakan sarana berkomunikasi antar sesama dengan cara yang hampir
tanpa batas, kita dapat mengutarakan keinginan kepada orang lain seperti
menjelaskan ide, pengungkapan pemikiran, gagasan sehingga orang lain tersebut
dapat mengetahui pemikiran kita.
Disinilah pentingnya nilai bahasa sebagai kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan, seperti halnya
bahasa Indonesia yang kaya dengan bahasa-bahasa daerah dan dialek-dialek yang
tersebar diseluruh Indonesia. Bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar merupakan
salah satu bahasa daerah di Indobesia yang masih hidup dan digunakan dalam
berkomunikasi sehari-hari oleh penutur yang tinggal di kabupaten Sumbawa Besar NTB. Secara
geografis bahasa Sumbawa memiliki wilayah tutur yang sangat luas akan
tetapi terbagi dalam berbagai dialek
seperti yang diungkapkan Mahsun (2007:74). Bahasa Sumbawa memiliki empat dialek
yakni Dialek Sumbawa Besar (DSB), Dialek Jereweh ( DJ), Dialek Taliwang
(DT), dan Dialek Tongo ( DTn). Dialek
dalam bahasa ini muncul akibat proses alamiah, kareana perbedaan secara
geografis jumlah dialek regional berdasarkan daerah penyebaranya, sehingga
terdapat dialek yang digunakan secara aktif dan lebih luas. Dalam hal ini, dialek Sumbawa Besar dinyatakan
sebagai dialek standar yang merupakan satu-satunya dialek yang di mengerti
setiap penutur bahasa Sumbawa untuk
berkomunikasi yang berada di wilayah Utan, Rhee, Empang, Moyo, Alas, dan
Taliwang ( Samarsono dkk, 1985:5).
Bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar atau disingkat
BSDB lebih lanjut disebut bahasa samawa menempati posisi sebagai dialek standar
dalam bahasa dalam bahasa Sumbawa, itu artinya dialek Sumbawa besar merupakan
suatu dialek yang telah di terimah sebagai standar bahasa yang mewakili
dialek-dialek regional lainnya.
Dalam
penggunaan BSDSB terdapat gejala kebahasaan yakni BSDSB di desa Mapin Rea
Kecamatan Alas Barat berbeda dengan dialek standar BSDSB dari aspek verba,
seperti verba tunuŋ ‘tidur’, maniŋ’mandi’, dalam dialek Sumbawa Besar, di desa
Kalabeso diftong final [ ŋ ] tidak disertakan, sehingga menjadi tunuq
‘tidur’, maniq ‘mandi’. Dengan bentuk verba demikian, sehingga patut
dipertanyakan perbedaan verba tersebut kiranya berbasis pada bentuk saja atau
mencangkup seluruh ranah seperti makna dan juga fungsi.
Selain
itu, afiksasi verba dalam bahasa Sumbawa hampir sama dengan afiksasi verba
bahasa Indonesia, meski hanya mengenal prefik termasuk di dalamnya afiksasi
verba secara umum tampil sebagai bahasa prefiks, sebab hanya mengenal sejumlah
prefiks seperti {ba-}, {ra-}, {ka-}, {sa-}, {pa-}, {ŋ-}, dan {ma-} ( Sumarsono,
dkk). Dengan afiks yang berupa prefiks,maka dengan bentuk yang bersangkutan
terdapat pola tertentu yang disebut sistem dan struktur.
1.2 Rumusan Masalah
Sehubungan dengan masalah di atas, masalah
pokok yang hendak dikaji dalam penelitian ini terbagi atas tiga rumusan yaitu
sebagai berikut:
1.
Bagaimana bentuk prefiks pembentuk verba
bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
2.
Bagaimana fungsi prefiks pembentuk verba
bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
3.
Bagaimana makna yang ditimbulkan prefiks
pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka
tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan
bentuk prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
2. Mendeskripsikan
fungsi prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
3. Mendeskripsikan
makna prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dengan
adanya penelitian semacam ini secara teoritis akan mendatangkan manfaat yaitu untuk menambah perbendarahan literatur
kebahasaan mengenai prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar
yang terkait hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Selain itu, dapat dijadikan
sebagai masukan dan sekaligus bahan perbandingan bagi peneliti lainya yang
menaruh perhatian terhadap bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian
ini diharapkan secara langsung dapat menunjang bahan pengajaran bahasa yang
akan menimbulkan minat untuk mempelajari bahasa daerah dalam usaha pembinaan
dan pengembagan bahasa daerah yakni bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar serta
bagi penulis sendiri diharapkan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, disiplin
terhadap diri sendiri dalam menangani penelitian yang tunduk pada kaidah
ketuntasan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Pada
subbab penelitian ini, akan diuraikan sejumlah penelitian yang telah dilakukan
terutama yang menjadikan prefiks pembentuk verba BSDSB sebagai objek kajian,
penguraian hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mencermati beberapa aspek.
Aspek yang dimaksud adalah data konsep, pendekatan, teori, metode, teknis dan
hasil analisis. Kajian pustaka diharapkan dapat memberi kontribusi pada
penelitian ini sehingga tidak terjadi pengulangan atau penyalinan kembali
penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada penelitian-penelitian yang
sudah dilakukan dijumpai beberapa penelitian sebagai berikut:
Pertama,
penelitian yang dilakukan oleh Yuliandani (2013) dengan judul “Tipologi Bahasa
Sumbawa Dialek Jereweh Sebuah Kajian Berdasarkan Morfologi Generatif” adalah
penelitian yang menguraikan tentang tifologi bahasa Sumbawa dialek Jereweh yang
memiliki tifologi aglutinasi yakni dengan keterlibatan afiks-afiks dalam proses
pembentukan kata. Tifologi dalam bentuk verba diperoleh dari proses prefiksasi,
memilih bentuk-bentuk prefiks {ba-}, {ŋ-},{ra-},{sa-}, dan {ma-}, wujud
kongkrit prefik {ba-} akan berbentuk {bar-} apabila dibubuhkan dengan bentuk
dasar yang berfonem awal vokal seperti /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/ contohnya
/beriak/ “bernafas”, /berantat/ “mengantar”. Lain halnya prefiks {ba-}
dibubuhkan dengan bentuk dasar yang berfonem awal konsonan seperti /c/, /d/,
/g/, /j/,/l/, /r/, /s/, dan /t/ akan tetap menjadi {ba-}, contohnya /balangan/
“berjalan” dan /baguru/ “berguru”. Prefiks {ba-} secara umum akan berbentuk
{bal-}apabila dibubuhi oleh bentuk dasar yang berfonem awal volak seperti /a/,
/i/, /e/ serta konsonan berupa /k/ dan /p/ contohnya /ŋeneŋ/ “meminta”, dari
bentuk dasar /kejari/ menjadi /ŋejari/ “mengejar”, akan tetapi secara khusus
prefiks {ŋ-} akan menjdi {ñ-} apabila melekat pada bentuk dasar berfonem
konsonan /s/, contohnya dari bentuk dasar
/sepat/ menjadi {ñepat} “membuat sepat”. Demikian pula dengan prefiks
{ra-} yang memiliki bentuk {ran-} dan {rañ-}, prefiks {sa-} yang memiliki
bentuk{sam-},{san-}, dan{saŋə-}.
Penelitian
yang dilakukan oleh Yusma (2012) “Proses Sufiksasi Bahasa Sasak Dialek
Ngeno-Ngene Kajian Morfologi Generatif”, dalam penelitian ini mendeskripsikan
wujud, fungsi, dan makna yang ditimbulkan sufiks-sufiks dalam bahasa sasak
dialek ngeno-ngene. Dari hasil penelitiannya didapatkan wujud sufiks yakni
{-an}, {-in}, {-nə},{-ang}, dan {angan}dengan fungsi sufiks yang dapat merubah
kategori kata (derivatif) dan merubah bentuk kata (infketif).
Sejauh
ini dipastikan, dari penelitian-penelitian yang sampai sekarang diadakan
terkait prefiks pembentuk verba berbeda dari penelitian ini meskipun dengan
konteks dan objek yang sama, akan tetapi menggunakan pendekatan yang berbeda,
yakni dengan komponen praktis berupa hubungan sintagmatik dan paradigmatik
untuk menemukan hasil penelitian dengan selengkap mungkin dibicarakan, sehingga
diharapkan komponen tersebut dapat benar-benar menerangkan kemampuan pemakai bahasa
dalam penggunaannya dalam berkomunikasi.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Morfologi
Morfologi
merupakan salah satu studi kebahasaan (linguistik) paling relevan bila
dikaitkan dengan proses pembentukkan kata, sebuah kata dalam proses
pembentukkanya secara umum dikenali sebagai proses morfologis yang memiliki
kategori morfologis, yang dimaksud dengan morfologi morfologis adalah sederet kata
yang ditandai oleh ciri bentuk yang sama berhubungan dengan ciri makna atau
oleh kesepadanan antara perbedaan identik dalam valensi dengan ciri identik
dari makna. Hal itu belarti bahwa seperangkat penanda morfologi merupakan seperangkat
ciri valensi yang sama pengajian kata atau leksikon suatu bahasa, kata dalam
hal ini dipandang sebagai satuan-satuan pada bentuk dan makna yang
memperlihatkan aspek valensi berupa kemungkinan-kemungkinan dimiliki kata untuk
berkombinasi dengan kata-kata lain dalam kelompok pembentukkan kata
(Uhlenbeck,1982).
Dalam
kaitannya yang bagaimana pembentukkan kata yang merupakan aspek valensi dapat
dikaji dalam morfologi, seperti yang di kemukakan Ramlan (2021:21). Morfologi
merupakan bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk
beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap
golongan dan arti kata atau dengan kata lain bahwa, morfologi mempelajari seluk
beluk kata serta fungsi perubahan bentuk kata itu, baik fungsi garamatik maupun
fungsi semantik. Sedangkan menurut Sukri (2008:3-4) secara sederhana dapat
dikatakan bahwa morfologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang berhubungan dengan struktur
internal kata serta korespondensinya antara bentuk, makna kata-kata secara
sistematis. Maka dapat disimpulkan bahwa, morfologi adalah cabang ilmu bahasa
yang mempelajari pembentukkan kata serta korespondensi antara bentuk dan makna
yang ditimbulkan dari pembentukkan kata tersebut yang berkaitan dengan aspek
valensi.
2.2.1.1 Proses Morfologis
Proses
morfologis adalah cara pembentukkan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang
satu dengan yang lain, proses morfologis tersebut dapat melalui fiksasi,
reduplikasi, perubahan interen, suplisi dan modifikasi kosong
(Samsuri,1982:190-193). Afiksasi adalah penggabungan akar atau pokok dengan
afiks. Afiks terdiri atas awalan,sisipan, dan akhiran. Reduplikasi adalah
proses morfologis melalui pengulangan kata. Reduplikasi terdiri atas reduplikasi
penuh, reduplikasi dengan modifikasi,dan reduplikasi sebagian. Perubahan
interen adalah proses morfologis yang menyebabkan perubahan-perubahan bentuk
morfem-morfem karena perubahannya terdapat di dalam morfem itu sendiri. Suplisi
adalah proses morfologis yang tidak menimbulkan perubahan pada bentuknya tetapi
konsepnya yang berubah . Selain itu, yang dimaksud dengan proses morfologis
merupakan proses yang dialami bentuk-bentuk lingual dalam penyusunan kata-kata
yang dalam pembentukkan kata-kata berasal dari satuan lain yang merupakan
bentuk dasarnya ( Ramlan,1983:44).
Mencermati
defenisi proses morfologi berdasrkan pendapat para ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa, proses morfologi merupakan proses pembentukkan kata dengan
cara pengabungan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Dengan berbagai cara
termasuk salah satunya melalui cara afiksasi.
2.2.1.2 Proses Afiksasi
Bila
kita berbicara dengan proses afiksasi maka berada dalam cangkupan morfologi,
seperti yang di katakana Sulhan (1998)
morfologis dengan cara memberikan imbuhan baik berupa awalan,sisipan ataupun akhiran
pada morfem lainnya. Selanjutnya menurut Ramlan (2001:54) afiksasi adalah
pembubuhan afiks, baik satuan itu berbentuk satuan tunggal maupun bentuk
kompleks untuk pembentukkan kata, sedangkan menurut Sukri (2008:54) afiksasi
adalah proses pembubuhan atau pelekatan afiks pada bentuk atau morfem dasar
yang berwujud bentuk tunggal dan bentuk kompleks sehingga menghasilkan kata
bentukan polimorfemis.
2.2.1.3 Prefiks
Prefiks
adalah imbuhan yang melekat di depan bentuk dasar (kata dasar), prefiks juga
disebut imbuhan awalan. Menurut Chaer (1994:178) prefiks adalah afiks yang
diimbuhkan di muka bentuk dasar, sedangkan menurut Keraf (1970:84) prefiks
adalah suatu unsure yang secara structural diikatkan di depan sebuah kata dasar
dan bentuk dasar yang disebut juga sebagai awalan.
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa prefiks adalah awalan
yang berupa imbuhan yang diletakkan pada dasar kata atau karakteristiknya
memiliki distribusi yang melekat pada awal bentuk dasar kata.
2.2.1.3 Prefiks Pembentuk Verba
Menurut
Keraf (1991:71) verba adalah kata-kata yang menyatakan tindakan, perbuatan,
proses, gerak, gerakan, terjadinya sesuatu. Sejalan dengan pendapat tersebut
Alwi (2005:126) menyatakan verba adalah kata yang menggambarkan proses,
perbuatan, atau keadaan. Sedangkan landasan dalam pembentukkan vera terpaut
pada hal-hal berikut yakni berupa:(1) dasar tanpa afiks apapun yang memiliki
makna yang independen yang disebut dengan dasar bebas dan, (2)maknanya dapat
ditentukan setelah ditambahkan afiks yang disebut dasar terikat. Atau secara
mendasar verba dalam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu verba
dasar dan verba turunan, verba dasar adalah verba yang belum mengalami proses
morfologis seperti makan, tidur, baca, dengar, sedangkan verba turunan adalah
kata kerja yang telah mengalami proses morfologis pengimbuhan seperti
mendengar, bertengkar, menjumpai, atau telah mengalami proses pengulangan
seperti makan-makan, diam-diam, baca-baca, lari-lari. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa prefiks pembentuk verba berkenaan dengan bentuk verba turunan
yang mengalami proses morfologis berupa afiksasi dan pelekatan prefiks.
Disamping
itu, perlu adanya deskripsi verba guna untuk memperoleh pengertian yang lebih
baik tentang verba dan untuk dapat membedakan verba dengan katergori lainya
perlu kiranya diketahui ciri-ciri verba sebagai berikut:(1) verba memiliki
fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat, (2)
verba mengandung makna interen perbuatan atau aksi, proses, keadaan yang bukan
sifat,(3) verba khususnya bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter-
yang belarti paling, kata kerja seperti mati atau suka, misalnya tidak dapat
diubah menjadi termati atau tersukar, dan (4) pada umumnya verba tidak dapat
tergabung dengan kata-kata yang menyatakan kesanggahan. Tidak ada bentuk
seperti agak belajar, sangat pergi, dan bekerja sekali, meskipun terdapat
bentuk seperti sangat berbahaya, agak mengecewakan, dan mengharapkan sekali.
2.2.2 Transposisi dan Hipostasis
Dalam
sistem prefiksasi atau pelekatan prefiks dengan bentuk dasar sehingga membentuk
verba ini terdapat banyak sekali kemungkinan bagi transposisi, termasuk di
dalamnya terdapat kemungkinan menerima penggabungan prefiks dengan bentuk dasar
berupa verba sehingga menghasilkan bentuk yang sama yakni verba, arti dan
fungsi gramatikal yang sama pula, disebut dengan hipostasis. Contoh dalam
bahasa Indonesia, dasar kata tulis menerima
penggabungan dengan awalan {men-}, yaitu menulis.
Berbeda dengan awalan {ber-}, dapat menerima pengabungan dengan dasar kata
yang berlain-lainan kelasnya, misalnya berjalan, bersatu, berkebun. Ditemui
juga dalam BSDSB, dasar kata kerja rebu,’rumput’dan marau ‘meladang’. Ihwal ini
menunjukkan tidak selalu mempertahankan ciri bentuk yang membedakanya dari
kelas yang dimasukinya sehingga menggaburkan batas-batas kelas kata dan tidak
semestinya penelitian ini menjadi melebar sampai pada kelas kata
lainya,misalnya nomina adverbial yang bukan verba. Dengan demikian dipersoalkan
sekaligus ihwal yang berkenaan dengan perpindahan-perpindahan kata dari satu
kelas ke kelas yang lain sebagai akibat afiksasi,peristiwa ini disebut dengan
transposisi. Menurut S.Kaseng (1982:132) istilah transposisi merujuk pada
persamaan makna dengan istilah transposisi yang dipergunakan dan dijumpai dalam
tulisan. Transposisi terbagi menjadi beberapa kategori diantaranya: (1)
kategori numeralia, berupa verba yang diturunkan dari kata bilangan.
Denumeralia dikenal secara luas dalam buku-buku tata bahasa Indonesia dengan
istilah kata kerja bentuk tuturan atau kata bilangan yang diturunkan. Untuk
menghindari pemakain istilah yang panjang, istilah diturunkan dirasa kurang
efektif, (2) kategori denomina merupakan verba yang diturunkan dari kata benda,
(3) kategori deajektiva, merupakan verba yang diturunkan dari kata sifat
S.Kaseng ( 1982:133).
2.2.3 Makna Gramatikal
Makna
baru yang ditimbulkan akibat pelekatan afiks tersebut merupakan makna
gramatikal. Makna gramtikal yang ditimbulkan oleh afiks atau morfem berfungsi
membentuk verba adalah menyatakan tindakan. Sedangkan morfem tindakan adalah
morfem yang mempunyai arti tindakan sehubungan dengan bentuk dasarnya. Morfem
tindakan ini dibagi menjadi:
1.
Morfem tindakan melakukan, (morfem
mempunyai arti tindakan melakukan sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa
Indonesia berupa morfem {meN-} dan {ber-}, contohnya mengirim, memasak,
berjalan, menyanyi.
2.
Morfem tindakan memakai atau
mempergunakan ( morfem mempunyai arti tindakan memakai atau mempergunakan
sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa morfem {ber-}
contohnya berkuda, berdasi, bertopi.
3.
Morfem tindakan mengeluarkan, ( morfem
mempunyai arti tindakan mengeluarkan sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa
Indonesia berupa morfem {ber-}, contohnya bertelur, memasak, bersuara.
4.
Morfem tindakan membawa ke tempat,
(morfem mempunyai arti tindakan membawa ke tempat sehubungan dengan dasarnya),
dalam bahasa Indonesia beruapa morfem {meN-…kaN-},contohnya menyelamatkan,
menyeberangkan, menggandakan.
5.
Morfem tindakan menuju ke tempat (
morfem mempunyai arti tindakan menuju ke tempat sehubungan dengan dasrnya)
dalam bahasa Indonesia berupa morfem {me-N}, contohnya menepi, mendarat.
6.
Morfem tindakan menjadikan lebih, (
morfem mempunyai arti tindakan menjadikan lebih sehubungan dengan dasarnya),
dalam bahasa Indonesia berupa morfem {meN-per-} dan {meN-kan-}, contohnya
meninggikan dan mempertinggi.
7.
Morfem tindakan membuat janji ( morfem
mempunyai arti tindakan membuat jadi sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa
Indonesia berupa morfem {meN-per-}, contohnya memperistri, memperjelas,
memperbudak.
8.
Morfem tindakan telah terjadi dengan
tindakan disengaja (morfem mempunyai arti tindakan telah terjadi sehubungan
dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa morfem {ter-}, contohnya
terbawa, termakan.
9.
Morfem tindakan sebab, (morfem mempunyai
arti tindakan sebab sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa
morfem {meN-i-},{meN-kan-}, dan
{meN-per-}, contohnya: mengiringi, meluaskan, memperluas.
10.
Morfem tindakan
penerima, (morfem mempunyai arti tindakan penerima sehubungan dengan dasarnya),
dalam bahasa indonesia berupa morfem {meN-kan-}, contohnya seperti membelikan, membuatkan.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Populasi Dan Sampel Penelitian
3.1.1
populasi
Menurut
Mahsun (2013:28-30) populasi merupakan kelompok besar yang menjadi sasaran
generalisasi. Dalam penelitian bahasa, pengertian populasi berkaitan dengan
masalah satuan penutur dan satuan wilayah tutorial. Populasi bermakna
keseluruhan individu yang menjadi anggota masyarakat tutur bahasa yang akan
diteliti akan menjadi sasaran generalisasi tentan seluk beluk bahasa sedangkan
dalam hal satuan wilayah tutorial, populai bermakna keseluruhan tempat yang
menjadi pemukiman keseluruhan individu anggota masyarakat tutur yang menjadi
sasaran generalisasi. Jadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
masyarakat di wilayah desa Mapin Rea Kecamatan Alas Barat yang berdasarkan
aspek kebahasaannya menguasai bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
3.1.2 Sampel Penelitian
Mahsun
mendefinisikan pengertian sampel penelitian sebagai pemelihan sebagian dari
keseluruhan penutur atau wilayah bahasa yang menjadi objek penelitian, maka
menyangkut sampel penutur berupa informan yang diisyaratkan oleh Mahsun dalam
penlitian cukup diperlukan satu orang informan yang baik namun, jika informan
hanya satu orang maka data yang diperoleh tidak dapat dikoreksi. Oleh karena
itu, untuk sampel yang berhubungan dengan aspek struktur bahasa digunakan
minimal dua orang yang dianggap mampu mewakili sebagai penutur bahasa mereka.
Tujuan penarikan sampel untuk memperoleh informan dengan jumlah yang ditentukan
tersebut berkenaan dengan jumlah populasi yang tidak mungkin untuk diteliti
seluruhnya sehingga perlu dilakukan pemilihan sampel yang dianggap mampu
mewakili populasi tersebut.
Sampel
dalam penelitian ini adalah informan yang berjumlah empat orang dianggap mampu
mewakili sebagai penutur di desa Mapin Rea Kecamatan Alas Barat yang dipilih
secara acak (random). Sampel acak sederhana ini merupakan sebuah sampel yang
diambil sedemikian rupa, tiap unit penelitian atau satuan elementer dari
populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel sehingga
diharapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk penelitian ini. Dalam
penentuan sampel dan informan menggunakan sampel random sampling (teknik acak
sederhana) teknik pengambilan sampel ini mengacu pada anggota populasi yang
memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Dengan adanya
kesempatan yang sama ini, sampel dalam suatu penelitian dapat digunakan untuk
membuat satu perkiraan populasi.
Pengambilan
empat informan ini dianggap mampu mewakili keseluruhan populasi yang ada,
karena di dalam metode sampling random atau acak, terkadang tidak mungkin
seluruh anggota masyarakat dilibatkan sebagai subjek atau informan ( Sumarsono
2002:6). Selain itu, pemilihan sampel berupa informan dipilih berdasarkan
pertimbangan serta sesuai dengan criteria-kriteria penentuan informan sebagai
berikut:(1) berjenis kelamin pria atau wanita,(2) berusia antara 20-26 tahun,
(3) sehat jasmani dan rohani, (4) dapat berbahasa Indonesia, (5) pekerjaan
bertani atau berburu, (6) berstatus sosial menegah ( tidak rendah dan tidak
tinggi) dengan harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya ,(7) berpendidikan
maksimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP), (8) orang tua, istri atau suami
informan lahir dari dan dibesarkan di desa tersebut serta jarang atau tidak
pernah meninggalkan desanya dan, (9) memiliki kebanggaan terhadap isolek dan
mayarakat isolek (Mahsun,2013:30).
3.2 Metode Pengumpulan Data
Tugas
pertama dalam penelitian ini yakni mengumpulkan data yang memadai melalui
hipotesis-hipotesis kerja, maka dalam tahap pengumpulan data menggunakan
metode-metode sebagaimana biasa diterapkan dalampenelitian linguistik yaitu
metode cakap dan instrospeksi, tentang kedua metode ini akan dipaparkan sebagai
berikut.
3.2.1
Metode Cakap
Metode
yang utama digunakan adalah metode cakap, menurut Mahsun dalam mengumpulkan
data metode cakap adalah percakapan antara peneliti dengan informan. Pada
dasarnya metode cakap meliputi rentangan kegiatan yang luas dalam percakapan
bebas, mengenai pokok bahasan yang mereka tentukan sendiri sehingga metode
cakap ini dipadankan dengan teknik dasar berupa teknik pancing serta teknik
lanjutan yaitu teknik tatap muka.
Kemungkinan
sebagian besar dari data penelitian ini dikumpulkan melalui teknik pancing,
kegiatan teknik pancing diarahkan secara langsung kepada sejumlah informan yang
merupakan penutur asli BSDSB di desa Mapin Rea. Dalam mengunakan bahasanya,
informan dalam kondisi terkontrol atau terkendali dengan rangsangan yang dimuat
dalam instrumen, instrumen ini dapat berupa seperangkat daftar kata atau dengan
bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan dengan maksud meminta ujaran
sederhana dalam rangka mengumpulkan sejumlah bentuk prefiks pembentuk verba
dalam BSDSB dan dapat pula dengan cara menanyakan bentuk-bentuk yang mungkin
dialami oleh prefiks pembentuk verba BSDSB
tadi, setiap bentuk dicatat kategorinya serta arti yang dapat
diungkapkan oleh bentuk tersebut sudah tentu dalam mencari verba tadi tidak
lupa memperhatikan ihwal-ihwal berikut:
1.Memilih
kata yang lazim pemakaiannya.
2.Memiliki
kata yang tidak menduduki lebih dari satu kelas.
3.Memilih
kata yang struktur fonemnya mewakili semua fonem-fonem yang ada dalam bahasa
Sumbawa dialek Sumbawa Besar hal ini penting untuk mengetahui variasi prefik
verba.
3.2.2 Metode Instrospeksi
Mengutip
pendapat Mahsun (2013:102) bahwa metode reflektif instrospektif adalah upaya
melibatkan atau memanfaatkan sepenuh-penuhnya, secara optimal peran penulis
sebagai penutur bahasa tanpa meleburlenyapkan peran penulis. Jadi metode ini
digunakan dalam rangka instrospeksi untuk membedakan dengan pasti kasus-kasus
yang mana sifatnya insidental, perkecualian atau janggal dengan upaya refleksi
yang didasari oleh intuisi terkait kompetensi linguistik penulis dalam
kapasitas penutur asli bahasa yang diteliti.
3.3 Metode Analisis Data
Tugas kedua dalam
penelitian ini yakni menganalisis data yang berwujud mentah dari proses
pengumpulan data sebelumnya dengan metode distribusional dan teknik suptitusi.
Terkait metode ini akan dipaparkan sebagai berikut:
3.3.1 Metode Distribusional
Menurut Subroto (2007:90)
metode distribusional adalah metode yang digunakan untuk menganalisis satuan
lingual tertentu berdasarkan prilaku atau tingkah laku kebahasaan, satuan itu
dalam hubungannya dengan satuan lain. Dalam penelitian ini dapat dilakukan
dengan jalan membuat klasifikasi dan perbandingan antara berbagai macam bentuk,
bentuk yang sejenis dimasukkan ke dalam satu kelompok dan dibanding-bandingkan
satu sama lainnya dengan tujuan menentukan prilaku prefiks pembentuk verba
BSDSB.
Di samping itu, metode distribusional ini
terdiri atas beberapa teknik yaitu: urai unsur kecil, urai unsur langsung,
oposisi pasangan minimal, oposisi dua-dua, pergantian atau subtitusi, perluasan
atau (ekspansi), pelepasan ( delisi), peyisipan (intrupsi), perbalikan (
permutasi), dan prafrasis. Namun secara kondisional dalam penelitian ini
dibatasi hanya dengan menggunakan teknik penggantian atau suntitusi dan
permutasi.
Tahapan kerja dengan teknik pergantian
atau subtitusi ini mengisyaratkan pemeriksaan tentang seberapa jauh kata
tertentu dapat menggantikan kata lain dibarengi atau tanpa dibarengi perubahan
makna. Pertama-tama mengusut valensi morfologi, yaitu meneliti prefiks mana
yang dapat dibentuk menjadi verba tertentu, segala kemungkinan ditinjau dengan
sistematis apa yang dianggap mungkin disubfersikan dengan contoh dari
pemakainnya. Selanjutnya menggunakan teknik permutasi atau pembalikan, teknik
ini diterpakan pada kontruksi kaliamat verba BSDSB guna untuk menguji unsur
atau bentuk yang disaksikan kesahihannya terjadi peyimpangan bentuk atau atau
ketidaksamaan bentuk.
3.4 Metode Peyajian Data
Data
yang terkumpul dalam penelitian ini disajikan dengan metode deskriftif formal
dan informal, sebagai aspek formal dengan dasar ilmiah seperti satu fonem
dengan tanda grafem contohnya dengan konsonan palate alveolar /ñ/ untuk bunyi ny, konsonan velar /ŋ/
atau bunyi ng serta kaidah penyajian
dengan lambang-lambang seperti ( - ) sebagai penanda tidak terdapat bentuk
tertentu (+) sebagai penanda bentuk tertentu. Dengan demikian peyajian tidak saja didasarkan
terkait hal yang ilmiah sebagai aspek formal, melainkan juga kepraktisan dalam
masyarakat berupa kata-kata biasa yang lazim ditutukan yang merupakan aspek
informal. Aspek-aspek tersebut secara langsung terlibat dalam metode deskriptif
yang digunakan dengan maksud untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang tata
cara pemakaiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi
Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia.
Jakarta:
Balai Pustaka.
Chair, Abdul. 1994. Linguistik Umum.
Jakarta:
Rineka Cipta.
Kaseng.
S. 1982. Valensi Morfologi Dasar Kata
Kerja.
Jakarta:
Djambatan
Mahsun,
2013. Metode Penelitian Bahasa: tahapan
strategi, metode, dan tekniknya.
Jakarta:
Rajawali Pers.
Parera,
Jes Daniel, 2004. Teori Semantik.
Jakarta:
Erlangga.
Ramlan,
M. 1983. Ilmu Bahasa Indonesia “sintaksis”.
Yogyakarta:
CV Karyono.
Sumarsono,
dkk. 1986. Morfologi dan Sintaksis Bahasa
Sumbawa.
Jakarta:
pusat pembinaan dan pengembangan bahasa depdikbud.
Samsuri.
1982. Analisis Bahasa.
Jakarta:
Airlangga.
Sukri. 2008. Morfologi. Mataram: Cerdas Perss.
EmoticonEmoticon