Monday, September 25, 2017

PREFIK PEMBENTUK VERBA BAHASA SUMBAWA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bahasa manusia merupakan sarana berkomunikasi antar sesama dengan cara yang hampir tanpa batas, kita dapat mengutarakan keinginan kepada orang lain seperti menjelaskan ide, pengungkapan pemikiran, gagasan sehingga orang lain tersebut dapat mengetahui pemikiran kita.  Disinilah pentingnya nilai bahasa sebagai kebutuhan yang paling   mendasar dalam kehidupan, seperti halnya bahasa Indonesia yang kaya dengan bahasa-bahasa daerah dan dialek-dialek yang tersebar diseluruh Indonesia. Bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar merupakan salah satu bahasa daerah di Indobesia yang masih hidup dan digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari oleh penutur yang tinggal  di kabupaten Sumbawa Besar NTB. Secara geografis bahasa Sumbawa memiliki wilayah tutur yang sangat luas akan tetapi  terbagi dalam berbagai dialek seperti yang diungkapkan Mahsun (2007:74). Bahasa Sumbawa memiliki empat dialek yakni Dialek Sumbawa Besar (DSB), Dialek Jereweh ( DJ), Dialek Taliwang (DT),  dan Dialek Tongo ( DTn). Dialek dalam bahasa ini muncul akibat proses alamiah, kareana perbedaan secara geografis jumlah dialek regional berdasarkan daerah penyebaranya, sehingga terdapat dialek yang digunakan secara aktif dan lebih luas.  Dalam hal ini, dialek Sumbawa Besar dinyatakan sebagai dialek standar yang merupakan satu-satunya dialek yang di mengerti setiap penutur bahasa  Sumbawa untuk berkomunikasi yang berada di wilayah Utan, Rhee, Empang, Moyo, Alas, dan Taliwang          ( Samarsono dkk, 1985:5). 
Bahasa  Sumbawa dialek Sumbawa Besar atau disingkat BSDB lebih lanjut disebut bahasa samawa menempati posisi sebagai dialek standar dalam bahasa dalam bahasa Sumbawa, itu artinya dialek Sumbawa besar merupakan suatu dialek yang telah di terimah sebagai standar bahasa yang mewakili dialek-dialek regional lainnya.
Dalam penggunaan BSDSB terdapat gejala kebahasaan yakni BSDSB di desa Mapin Rea Kecamatan Alas Barat berbeda dengan dialek standar BSDSB dari aspek verba, seperti verba tunuŋ ‘tidur’, maniŋ’mandi’, dalam dialek Sumbawa Besar, di desa Kalabeso diftong final     [ ŋ  ] tidak disertakan, sehingga menjadi tunuq ‘tidur’, maniq ‘mandi’. Dengan bentuk verba demikian, sehingga patut dipertanyakan perbedaan verba tersebut kiranya berbasis pada bentuk saja atau mencangkup seluruh ranah seperti makna dan juga fungsi.
Selain itu, afiksasi verba dalam bahasa Sumbawa hampir sama dengan afiksasi verba bahasa Indonesia, meski hanya mengenal prefik termasuk di dalamnya afiksasi verba secara umum tampil sebagai bahasa prefiks, sebab hanya mengenal sejumlah prefiks seperti {ba-}, {ra-}, {ka-}, {sa-}, {pa-}, {ŋ-}, dan {ma-} ( Sumarsono, dkk). Dengan afiks yang berupa prefiks,maka dengan bentuk yang bersangkutan terdapat pola tertentu yang disebut sistem dan struktur.
1.2 Rumusan Masalah    
      Sehubungan dengan masalah di atas, masalah pokok yang hendak dikaji dalam penelitian ini terbagi atas tiga rumusan yaitu sebagai berikut:
1.   Bagaimana bentuk prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
2.   Bagaimana fungsi prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
3.   Bagaimana makna yang ditimbulkan prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
1.3 Tujuan Penelitian
     Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan bentuk prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
2.      Mendeskripsikan fungsi prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
3.      Mendeskripsikan makna prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
        Dengan adanya penelitian semacam ini secara teoritis akan mendatangkan manfaat  yaitu untuk menambah perbendarahan literatur kebahasaan mengenai prefiks pembentuk verba bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar yang terkait hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Selain itu, dapat dijadikan sebagai masukan dan sekaligus bahan perbandingan bagi peneliti lainya yang menaruh perhatian terhadap bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
1.4.2 Manfaat Praktis
        Penelitian ini diharapkan secara langsung dapat menunjang bahan pengajaran bahasa yang akan menimbulkan minat untuk mempelajari bahasa daerah dalam usaha pembinaan dan pengembagan bahasa daerah yakni bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar serta bagi penulis sendiri diharapkan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab, disiplin terhadap diri sendiri dalam menangani penelitian yang tunduk pada kaidah ketuntasan.









BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
        Pada subbab penelitian ini, akan diuraikan sejumlah penelitian yang telah dilakukan terutama yang menjadikan prefiks pembentuk verba BSDSB sebagai objek kajian, penguraian hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mencermati beberapa aspek. Aspek yang dimaksud adalah data konsep, pendekatan, teori, metode, teknis dan hasil analisis. Kajian pustaka diharapkan dapat memberi kontribusi pada penelitian ini sehingga tidak terjadi pengulangan atau penyalinan kembali penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada penelitian-penelitian yang sudah dilakukan dijumpai beberapa penelitian sebagai berikut:
        Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Yuliandani (2013) dengan judul “Tipologi Bahasa Sumbawa Dialek Jereweh Sebuah Kajian Berdasarkan Morfologi Generatif” adalah penelitian yang menguraikan tentang tifologi bahasa Sumbawa dialek Jereweh yang memiliki tifologi aglutinasi yakni dengan keterlibatan afiks-afiks dalam proses pembentukan kata. Tifologi dalam bentuk verba diperoleh dari proses prefiksasi, memilih bentuk-bentuk prefiks {ba-}, {ŋ-},{ra-},{sa-}, dan {ma-}, wujud kongkrit prefik {ba-} akan berbentuk {bar-} apabila dibubuhkan dengan bentuk dasar yang berfonem awal vokal seperti /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/ contohnya /beriak/ “bernafas”, /berantat/ “mengantar”. Lain halnya prefiks {ba-} dibubuhkan dengan bentuk dasar yang berfonem awal konsonan seperti /c/, /d/, /g/, /j/,/l/, /r/, /s/, dan /t/ akan tetap menjadi {ba-}, contohnya /balangan/ “berjalan” dan /baguru/ “berguru”. Prefiks {ba-} secara umum akan berbentuk {bal-}apabila dibubuhi oleh bentuk dasar yang berfonem awal volak seperti /a/, /i/, /e/ serta konsonan berupa /k/ dan /p/ contohnya /ŋeneŋ/ “meminta”, dari bentuk dasar /kejari/ menjadi /ŋejari/ “mengejar”, akan tetapi secara khusus prefiks {ŋ-} akan menjdi {ñ-} apabila melekat pada bentuk dasar berfonem konsonan /s/, contohnya dari bentuk dasar  /sepat/ menjadi {ñepat} “membuat sepat”. Demikian pula dengan prefiks {ra-} yang memiliki bentuk {ran-} dan {rañ-}, prefiks {sa-} yang memiliki bentuk{sam-},{san-}, dan{saŋə-}.
        Penelitian yang dilakukan oleh Yusma (2012) “Proses Sufiksasi Bahasa Sasak Dialek Ngeno-Ngene Kajian Morfologi Generatif”, dalam penelitian ini mendeskripsikan wujud, fungsi, dan makna yang ditimbulkan sufiks-sufiks dalam bahasa sasak dialek ngeno-ngene. Dari hasil penelitiannya didapatkan wujud sufiks yakni {-an}, {-in}, {-nə},{-ang}, dan {angan}dengan fungsi sufiks yang dapat merubah kategori kata (derivatif) dan merubah bentuk kata (infketif).
        Sejauh ini dipastikan, dari penelitian-penelitian yang sampai sekarang diadakan terkait prefiks pembentuk verba berbeda dari penelitian ini meskipun dengan konteks dan objek yang sama, akan tetapi menggunakan pendekatan yang berbeda, yakni dengan komponen praktis berupa hubungan sintagmatik dan paradigmatik untuk menemukan hasil penelitian dengan selengkap mungkin dibicarakan, sehingga diharapkan komponen tersebut dapat benar-benar menerangkan kemampuan pemakai bahasa dalam penggunaannya dalam berkomunikasi.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Morfologi    
        Morfologi merupakan salah satu studi kebahasaan (linguistik) paling relevan bila dikaitkan dengan proses pembentukkan kata, sebuah kata dalam proses pembentukkanya secara umum dikenali sebagai proses morfologis yang memiliki kategori morfologis, yang dimaksud dengan morfologi morfologis adalah sederet kata yang ditandai oleh ciri bentuk yang sama berhubungan dengan ciri makna atau oleh kesepadanan antara perbedaan identik dalam valensi dengan ciri identik dari makna. Hal itu belarti bahwa seperangkat penanda morfologi merupakan seperangkat ciri valensi yang sama pengajian kata atau leksikon suatu bahasa, kata dalam hal ini dipandang sebagai satuan-satuan pada bentuk dan makna yang memperlihatkan aspek valensi berupa kemungkinan-kemungkinan dimiliki kata untuk berkombinasi dengan kata-kata lain dalam kelompok pembentukkan kata (Uhlenbeck,1982).
        Dalam kaitannya yang bagaimana pembentukkan kata yang merupakan aspek valensi dapat dikaji dalam morfologi, seperti yang di kemukakan Ramlan (2021:21). Morfologi merupakan bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau mempelajari seluk beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata atau dengan kata lain bahwa, morfologi mempelajari seluk beluk kata serta fungsi perubahan bentuk kata itu, baik fungsi garamatik maupun fungsi semantik. Sedangkan menurut Sukri (2008:3-4) secara sederhana dapat dikatakan bahwa morfologi adalah cabang ilmu bahasa  (linguistik) yang berhubungan dengan struktur internal kata serta korespondensinya antara bentuk, makna kata-kata secara sistematis. Maka dapat disimpulkan bahwa, morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari pembentukkan kata serta korespondensi antara bentuk dan makna yang ditimbulkan dari pembentukkan kata tersebut yang berkaitan dengan aspek valensi.
2.2.1.1 Proses Morfologis  
        Proses morfologis adalah cara pembentukkan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan yang lain, proses morfologis tersebut dapat melalui fiksasi, reduplikasi, perubahan interen, suplisi dan modifikasi kosong (Samsuri,1982:190-193). Afiksasi adalah penggabungan akar atau pokok dengan afiks. Afiks terdiri atas awalan,sisipan, dan akhiran. Reduplikasi adalah proses morfologis melalui pengulangan kata. Reduplikasi terdiri atas reduplikasi penuh, reduplikasi dengan modifikasi,dan reduplikasi sebagian. Perubahan interen adalah proses morfologis yang menyebabkan perubahan-perubahan bentuk morfem-morfem karena perubahannya terdapat di dalam morfem itu sendiri. Suplisi adalah proses morfologis yang tidak menimbulkan perubahan pada bentuknya tetapi konsepnya yang berubah . Selain itu, yang dimaksud dengan proses morfologis merupakan proses yang dialami bentuk-bentuk lingual dalam penyusunan kata-kata yang dalam pembentukkan kata-kata berasal dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya ( Ramlan,1983:44).
        Mencermati defenisi proses morfologi berdasrkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, proses morfologi merupakan proses pembentukkan kata dengan cara pengabungan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Dengan berbagai cara termasuk salah satunya melalui cara afiksasi.
2.2.1.2 Proses Afiksasi
        Bila kita berbicara dengan proses afiksasi maka berada dalam cangkupan morfologi, seperti yang di katakana Sulhan  (1998) morfologis dengan cara memberikan imbuhan baik berupa awalan,sisipan ataupun akhiran pada morfem lainnya. Selanjutnya menurut Ramlan (2001:54) afiksasi adalah pembubuhan afiks, baik satuan itu berbentuk satuan tunggal maupun bentuk kompleks untuk pembentukkan kata, sedangkan menurut Sukri (2008:54) afiksasi adalah proses pembubuhan atau pelekatan afiks pada bentuk atau morfem dasar yang berwujud bentuk tunggal dan bentuk kompleks sehingga menghasilkan kata bentukan polimorfemis.
2.2.1.3 Prefiks
        Prefiks adalah imbuhan yang melekat di depan bentuk dasar (kata dasar), prefiks juga disebut imbuhan awalan. Menurut Chaer (1994:178) prefiks adalah afiks yang diimbuhkan di muka bentuk dasar, sedangkan menurut Keraf (1970:84) prefiks adalah suatu unsure yang secara structural diikatkan di depan sebuah kata dasar dan bentuk dasar yang disebut juga sebagai awalan.
        Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa prefiks adalah awalan yang berupa imbuhan yang diletakkan pada dasar kata atau karakteristiknya memiliki distribusi yang melekat pada awal bentuk dasar kata.
2.2.1.3 Prefiks Pembentuk Verba
        Menurut Keraf (1991:71) verba adalah kata-kata yang menyatakan tindakan, perbuatan, proses, gerak, gerakan, terjadinya sesuatu. Sejalan dengan pendapat tersebut Alwi (2005:126) menyatakan verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan. Sedangkan landasan dalam pembentukkan vera terpaut pada hal-hal berikut yakni berupa:(1) dasar tanpa afiks apapun yang memiliki makna yang independen yang disebut dengan dasar bebas dan, (2)maknanya dapat ditentukan setelah ditambahkan afiks yang disebut dasar terikat. Atau secara mendasar verba dalam bahasa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu verba dasar dan verba turunan, verba dasar adalah verba yang belum mengalami proses morfologis seperti makan, tidur, baca, dengar, sedangkan verba turunan adalah kata kerja yang telah mengalami proses morfologis pengimbuhan seperti mendengar, bertengkar, menjumpai, atau telah mengalami proses pengulangan seperti makan-makan, diam-diam, baca-baca, lari-lari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prefiks pembentuk verba berkenaan dengan bentuk verba turunan yang mengalami proses morfologis berupa afiksasi dan pelekatan prefiks.
        Disamping itu, perlu adanya deskripsi verba guna untuk memperoleh pengertian yang lebih baik tentang verba dan untuk dapat membedakan verba dengan katergori lainya perlu kiranya diketahui ciri-ciri verba sebagai berikut:(1) verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat, (2) verba mengandung makna interen perbuatan atau aksi, proses, keadaan yang bukan sifat,(3) verba khususnya bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefiks ter- yang belarti paling, kata kerja seperti mati atau suka, misalnya tidak dapat diubah menjadi termati atau tersukar, dan (4) pada umumnya verba tidak dapat tergabung dengan kata-kata yang menyatakan kesanggahan. Tidak ada bentuk seperti agak belajar, sangat pergi, dan bekerja sekali, meskipun terdapat bentuk seperti sangat berbahaya, agak mengecewakan, dan mengharapkan sekali.
2.2.2 Transposisi dan Hipostasis  
        Dalam sistem prefiksasi atau pelekatan prefiks dengan bentuk dasar sehingga membentuk verba ini terdapat banyak sekali kemungkinan bagi transposisi, termasuk di dalamnya terdapat kemungkinan menerima penggabungan prefiks dengan bentuk dasar berupa verba sehingga menghasilkan bentuk yang sama yakni verba, arti dan fungsi gramatikal yang sama pula, disebut dengan hipostasis. Contoh dalam bahasa Indonesia, dasar kata tulis menerima penggabungan dengan awalan {men-}, yaitu menulis. Berbeda dengan awalan {ber-}, dapat menerima pengabungan dengan dasar kata yang berlain-lainan kelasnya, misalnya berjalan, bersatu, berkebun. Ditemui juga dalam BSDSB, dasar kata kerja rebu,’rumput’dan marau ‘meladang’. Ihwal ini menunjukkan tidak selalu mempertahankan ciri bentuk yang membedakanya dari kelas yang dimasukinya sehingga menggaburkan batas-batas kelas kata dan tidak semestinya penelitian ini menjadi melebar sampai pada kelas kata lainya,misalnya nomina adverbial yang bukan verba. Dengan demikian dipersoalkan sekaligus ihwal yang berkenaan dengan perpindahan-perpindahan kata dari satu kelas ke kelas yang lain sebagai akibat afiksasi,peristiwa ini disebut dengan transposisi. Menurut S.Kaseng (1982:132) istilah transposisi merujuk pada persamaan makna dengan istilah transposisi yang dipergunakan dan dijumpai dalam tulisan. Transposisi terbagi menjadi beberapa kategori diantaranya: (1) kategori numeralia, berupa verba yang diturunkan dari kata bilangan. Denumeralia dikenal secara luas dalam buku-buku tata bahasa Indonesia dengan istilah kata kerja bentuk tuturan atau kata bilangan yang diturunkan. Untuk menghindari pemakain istilah yang panjang, istilah diturunkan dirasa kurang efektif, (2) kategori denomina merupakan verba yang diturunkan dari kata benda, (3) kategori deajektiva, merupakan verba yang diturunkan dari kata sifat S.Kaseng ( 1982:133).
2.2.3 Makna Gramatikal
        Makna baru yang ditimbulkan akibat pelekatan afiks tersebut merupakan makna gramatikal. Makna gramtikal yang ditimbulkan oleh afiks atau morfem berfungsi membentuk verba adalah menyatakan tindakan. Sedangkan morfem tindakan adalah morfem yang mempunyai arti tindakan sehubungan dengan bentuk dasarnya. Morfem tindakan ini dibagi menjadi:
1.   Morfem tindakan melakukan, (morfem mempunyai arti tindakan melakukan sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa morfem {meN-} dan {ber-}, contohnya mengirim, memasak, berjalan, menyanyi.
2.   Morfem tindakan memakai atau mempergunakan ( morfem mempunyai arti tindakan memakai atau mempergunakan sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa morfem {ber-} contohnya berkuda, berdasi, bertopi.
3.   Morfem tindakan mengeluarkan, ( morfem mempunyai arti tindakan mengeluarkan sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa morfem {ber-}, contohnya bertelur, memasak, bersuara.
4.   Morfem tindakan membawa ke tempat, (morfem mempunyai arti tindakan membawa ke tempat sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia beruapa morfem {meN-…kaN-},contohnya menyelamatkan, menyeberangkan, menggandakan.
5.   Morfem tindakan menuju ke tempat ( morfem mempunyai arti tindakan menuju ke tempat sehubungan dengan dasrnya) dalam bahasa Indonesia berupa morfem {me-N}, contohnya menepi, mendarat.
6.   Morfem tindakan menjadikan lebih, ( morfem mempunyai arti tindakan menjadikan lebih sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa morfem {meN-per-} dan {meN-kan-}, contohnya meninggikan dan mempertinggi.
7.   Morfem tindakan membuat janji ( morfem mempunyai arti tindakan membuat jadi sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa morfem {meN-per-}, contohnya memperistri, memperjelas, memperbudak.
8.   Morfem tindakan telah terjadi dengan tindakan disengaja (morfem mempunyai arti tindakan telah terjadi sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa morfem {ter-}, contohnya terbawa, termakan.
9.   Morfem tindakan sebab, (morfem mempunyai arti tindakan sebab sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa Indonesia berupa morfem {meN-i-},{meN-kan-}, dan {meN-per-}, contohnya: mengiringi, meluaskan, memperluas.
10.     Morfem tindakan penerima, (morfem mempunyai arti tindakan penerima sehubungan dengan dasarnya), dalam bahasa indonesia berupa morfem {meN-kan-}, contohnya seperti membelikan, membuatkan.

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1  Populasi Dan Sampel Penelitian
3.1.1 populasi
        Menurut Mahsun (2013:28-30) populasi merupakan kelompok besar yang menjadi sasaran generalisasi. Dalam penelitian bahasa, pengertian populasi berkaitan dengan masalah satuan penutur dan satuan wilayah tutorial. Populasi bermakna keseluruhan individu yang menjadi anggota masyarakat tutur bahasa yang akan diteliti akan menjadi sasaran generalisasi tentan seluk beluk bahasa sedangkan dalam hal satuan wilayah tutorial, populai bermakna keseluruhan tempat yang menjadi pemukiman keseluruhan individu anggota masyarakat tutur yang menjadi sasaran generalisasi. Jadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat di wilayah desa Mapin Rea Kecamatan Alas Barat yang berdasarkan aspek kebahasaannya menguasai bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar.
3.1.2 Sampel Penelitian
        Mahsun mendefinisikan pengertian sampel penelitian sebagai pemelihan sebagian dari keseluruhan penutur atau wilayah bahasa yang menjadi objek penelitian, maka menyangkut sampel penutur berupa informan yang diisyaratkan oleh Mahsun dalam penlitian cukup diperlukan satu orang informan yang baik namun, jika informan hanya satu orang maka data yang diperoleh tidak dapat dikoreksi. Oleh karena itu, untuk sampel yang berhubungan dengan aspek struktur bahasa digunakan minimal dua orang yang dianggap mampu mewakili sebagai penutur bahasa mereka. Tujuan penarikan sampel untuk memperoleh informan dengan jumlah yang ditentukan tersebut berkenaan dengan jumlah populasi yang tidak mungkin untuk diteliti seluruhnya sehingga perlu dilakukan pemilihan sampel yang dianggap mampu mewakili populasi tersebut.
        Sampel dalam penelitian ini adalah informan yang berjumlah empat orang dianggap mampu mewakili sebagai penutur di desa Mapin Rea Kecamatan Alas Barat yang dipilih secara acak (random). Sampel acak sederhana ini merupakan sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa, tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel sehingga diharapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk penelitian ini. Dalam penentuan sampel dan informan menggunakan sampel random sampling (teknik acak sederhana) teknik pengambilan sampel ini mengacu pada anggota populasi yang memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Dengan adanya kesempatan yang sama ini, sampel dalam suatu penelitian dapat digunakan untuk membuat satu perkiraan populasi.
        Pengambilan empat informan ini dianggap mampu mewakili keseluruhan populasi yang ada, karena di dalam metode sampling random atau acak, terkadang tidak mungkin seluruh anggota masyarakat dilibatkan sebagai subjek atau informan ( Sumarsono 2002:6). Selain itu, pemilihan sampel berupa informan dipilih berdasarkan pertimbangan serta sesuai dengan criteria-kriteria penentuan informan sebagai berikut:(1) berjenis kelamin pria atau wanita,(2) berusia antara 20-26 tahun, (3) sehat jasmani dan rohani, (4) dapat berbahasa Indonesia, (5) pekerjaan bertani atau berburu, (6) berstatus sosial menegah ( tidak rendah dan tidak tinggi) dengan harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya ,(7) berpendidikan maksimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP), (8) orang tua, istri atau suami informan lahir dari dan dibesarkan di desa tersebut serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya dan, (9) memiliki kebanggaan terhadap isolek dan mayarakat isolek (Mahsun,2013:30).
3.2  Metode Pengumpulan Data  
        Tugas pertama dalam penelitian ini yakni mengumpulkan data yang memadai melalui hipotesis-hipotesis kerja, maka dalam tahap pengumpulan data menggunakan metode-metode sebagaimana biasa diterapkan dalampenelitian linguistik yaitu metode cakap dan instrospeksi, tentang kedua metode ini akan dipaparkan sebagai berikut.


3.2.1 Metode Cakap
        Metode yang utama digunakan adalah metode cakap, menurut Mahsun dalam mengumpulkan data metode cakap adalah percakapan antara peneliti dengan informan. Pada dasarnya metode cakap meliputi rentangan kegiatan yang luas dalam percakapan bebas, mengenai pokok bahasan yang mereka tentukan sendiri sehingga metode cakap ini dipadankan dengan teknik dasar berupa teknik pancing serta teknik lanjutan yaitu teknik tatap muka.
        Kemungkinan sebagian besar dari data penelitian ini dikumpulkan melalui teknik pancing, kegiatan teknik pancing diarahkan secara langsung kepada sejumlah informan yang merupakan penutur asli BSDSB di desa Mapin Rea. Dalam mengunakan bahasanya, informan dalam kondisi terkontrol atau terkendali dengan rangsangan yang dimuat dalam instrumen, instrumen ini dapat berupa seperangkat daftar kata atau dengan bentuk pertanyaan yang diajukan kepada informan dengan maksud meminta ujaran sederhana dalam rangka mengumpulkan sejumlah bentuk prefiks pembentuk verba dalam BSDSB dan dapat pula dengan cara menanyakan bentuk-bentuk yang mungkin dialami oleh prefiks pembentuk verba BSDSB  tadi, setiap bentuk dicatat kategorinya serta arti yang dapat diungkapkan oleh bentuk tersebut sudah tentu dalam mencari verba tadi tidak lupa memperhatikan ihwal-ihwal berikut:
1.Memilih kata yang lazim pemakaiannya.
2.Memiliki kata yang tidak menduduki lebih dari satu kelas.
3.Memilih kata yang struktur fonemnya mewakili semua fonem-fonem yang ada dalam bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar hal ini penting untuk mengetahui variasi prefik verba.
3.2.2     Metode Instrospeksi
   Mengutip pendapat Mahsun (2013:102) bahwa metode reflektif instrospektif adalah upaya melibatkan atau memanfaatkan sepenuh-penuhnya, secara optimal peran penulis sebagai penutur bahasa tanpa meleburlenyapkan peran penulis. Jadi metode ini digunakan dalam rangka instrospeksi untuk membedakan dengan pasti kasus-kasus yang mana sifatnya insidental, perkecualian atau janggal dengan upaya refleksi yang didasari oleh intuisi terkait kompetensi linguistik penulis dalam kapasitas penutur asli bahasa yang diteliti.
3.3  Metode Analisis Data
      Tugas kedua dalam penelitian ini yakni menganalisis data yang berwujud mentah dari proses pengumpulan data sebelumnya dengan metode distribusional dan teknik suptitusi. Terkait metode ini akan dipaparkan sebagai berikut:
3.3.1 Metode Distribusional
      Menurut Subroto (2007:90) metode distribusional adalah metode yang digunakan untuk menganalisis satuan lingual tertentu berdasarkan prilaku atau tingkah laku kebahasaan, satuan itu dalam hubungannya dengan satuan lain. Dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan jalan membuat klasifikasi dan perbandingan antara berbagai macam bentuk, bentuk yang sejenis dimasukkan ke dalam satu kelompok dan dibanding-bandingkan satu sama lainnya dengan tujuan menentukan prilaku prefiks pembentuk verba BSDSB.
      Di samping itu, metode distribusional ini terdiri atas beberapa teknik yaitu: urai unsur kecil, urai unsur langsung, oposisi pasangan minimal, oposisi dua-dua, pergantian atau subtitusi, perluasan atau (ekspansi), pelepasan ( delisi), peyisipan (intrupsi), perbalikan ( permutasi), dan prafrasis. Namun secara kondisional dalam penelitian ini dibatasi hanya dengan menggunakan teknik penggantian atau suntitusi dan permutasi.
      Tahapan kerja dengan teknik pergantian atau subtitusi ini mengisyaratkan pemeriksaan tentang seberapa jauh kata tertentu dapat menggantikan kata lain dibarengi atau tanpa dibarengi perubahan makna. Pertama-tama mengusut valensi morfologi, yaitu meneliti prefiks mana yang dapat dibentuk menjadi verba tertentu, segala kemungkinan ditinjau dengan sistematis apa yang dianggap mungkin disubfersikan dengan contoh dari pemakainnya. Selanjutnya menggunakan teknik permutasi atau pembalikan, teknik ini diterpakan pada kontruksi kaliamat verba BSDSB guna untuk menguji unsur atau bentuk yang disaksikan kesahihannya terjadi peyimpangan bentuk atau atau ketidaksamaan bentuk.
3.4  Metode Peyajian Data  
Data yang terkumpul dalam penelitian ini disajikan dengan metode deskriftif formal dan informal, sebagai aspek formal dengan dasar ilmiah seperti satu fonem dengan tanda grafem contohnya dengan konsonan palate alveolar /ñ/ untuk bunyi ny, konsonan velar /ŋ/ atau bunyi ng serta kaidah penyajian dengan lambang-lambang seperti ( - ) sebagai penanda tidak terdapat bentuk tertentu (+) sebagai penanda bentuk tertentu. Dengan  demikian peyajian tidak saja didasarkan terkait hal yang ilmiah sebagai aspek formal, melainkan juga kepraktisan dalam masyarakat berupa kata-kata biasa yang lazim ditutukan yang merupakan aspek informal. Aspek-aspek tersebut secara langsung terlibat dalam metode deskriptif yang digunakan dengan maksud untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang tata cara pemakaiannya.      


















DAFTAR PUSTAKA
Alwi Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.

Chair, Abdul. 1994. Linguistik Umum.
Jakarta: Rineka Cipta.

Kaseng. S. 1982. Valensi Morfologi Dasar Kata Kerja.
Jakarta: Djambatan

Mahsun, 2013. Metode Penelitian Bahasa: tahapan strategi, metode, dan tekniknya.
Jakarta: Rajawali Pers.

Parera, Jes Daniel, 2004. Teori Semantik.
Jakarta: Erlangga.

Ramlan, M. 1983. Ilmu Bahasa Indonesia “sintaksis”.
Yogyakarta: CV Karyono.

Sumarsono, dkk. 1986. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Sumbawa.
Jakarta: pusat pembinaan dan pengembangan bahasa depdikbud.

Samsuri. 1982. Analisis Bahasa.
Jakarta: Airlangga.

Sukri. 2008. Morfologi. Mataram: Cerdas Perss.




   

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon