SEMANTIK
“HIPONIMI
DAN SINOMINI”
HIPONIMI DAN SINONIMI
I.
PEMBAHASAN
1.
HIPONIMI
Sewaktu menggambarkan
hubungan makna kata yang satu dengan yang lainnya, kita mungkin dapat menemukan
sejumlah kata yang memiliki kemiripan ciri acuan referen sehingga
keseluruhannya dapat diberi label umum yang berlaku bagi setiap anggota yang
memiliki kemiripan ciri acuan tersebut. Contoh : kata mawar misalnya memiliki
hubungan ciri dengan melati, dahlia, kenanga, maupun nusa indah sehingga
kumpulan kata yang memiliki hubungan ciri tersebut dapat diberi julukan umum,
bunga sejumlah kata yang memiliki hubungan atau kemiripan ciri referen itu
disebut subordinate, sedangkan
julukan yang memayunginya disebut superordinate,
Hubugan antara mawar dengan bunga disebut hiponim, sementara hubungan antara
mawar dengan melati disebut kohiponim. Istilah hiponimi berkaitan dengan dengan proses pelibatan sejumlah makna
yang terkandung di dalam kata mawar, melati, dan lain-lainnya ke dalam satu
naungan julukan, yakni bunga.
Apabila bentuk sinonim
seperti Bandung dengan Kota Kembang memiliki hubungan simetris, makna hiponimi
memiliki hubungan transitif (Lyons, 1979 : 292). Sebab itu, berbeda dengan
formula yang telah dipaparkan dalam bab IV di depan, dalam hubungan transistif,
formula yang digunakan palmer dalam memberikan hubungan tulip dengan bunga adalah Vx (T (x)
B(x) ). Formula itu dapat dibaca, semua yang memiliki ciri x, dan tulip
adalah salah satu di antara yang memiliki ciri x, maka tulip adalah bunga
sebagai julukan umum yang menghimpun ciri x.
Diacukan pada ciri yang
lain, bunga dapat juga menjadi kohiponim dari rumput, beringin dan lain-lainnya
yang keseluruhannya menunjuk pada satu julukan umum, tumbuh-tumbuhan. Seperti
telah dicontohkan di depan, tumbuh-tumbuhan bisa menjadi kohiponim dari manusia
maupun hewan yang berada dibawah satu julukan umum, makhluk. Sampai pada
tingkatan ini, akhirnya dapat diketahui pula bahwa pemberian ciri secara
ekstensional dari sejumlah makna kata yang mengalami hiponimi akhirnya juga
tidak lepas dari titik vertikal pada sentralnya. Hubungan sentral dengan
tumbuh-tumbuhan yang memiliki sejumlah sub-ordinate, manusia maupun hewan juga
memiliki sejumlah sub-ordinate. Dengan demikian, hiponimi memiliki percabangan
dan tata tingkat yang dapat digambarkan pada gambar bagan 11.
A
b
c d e c
a f
Bagan 11: tata tingkat kata dalam hiponimi
Dari jaringan bagan itu dapat diketahui bahwa A sebagai
penanda makhluk, memiliki jaringan
hubungan yang mencakup baik a = manusia, b = hewan serta c = tumbuh-tumbuhan.
Baik a,b maupun c sebagai subordinate dari makhluk, pada tataran berikutnya
menjadi superordinate dari tingkatan subordinate berikutnya. Manusia dapat
menjadi superordinate dari seebutan sejumlah ras maupun suku, hewan dapat
menajadi superordinate dari kambing
dan lembu, sementara tumbuh-tumbuhan menjadi
superordinate dari bunga dan pepohon. Bertolak dari situasi seperti diatas,
dapat disimpulkan bahwa kata manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dapat memiliki
kedudukan ganda. Selain menjadi subordinate, kata-kata tersebut juga menjadi
superdinate dari tataran subordinate berikutnya. Sebab itulah suatu kata,
selain memiliki relasi umum, misalnya kehidupan,, pertumbuhan, kematian dapat
dihubungkan dengan kata manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan berbagai
bahawahannya, juga memiliki relasi khusus. Kata sekolah, bikah, ibadah,
misalnya berlaku untuk manusia, kata menanduk, mengembek, maupun memamah biak
memiliki relasi khusus dengan binatang, sementara kata getah, dahan, dan
persemaian memiliki relasi khusus dengan tumbuh-tumbuhan. Relasi khusus itu
lebih lanjut bisa menjadi tambah menyempit, yakni apabila suatu kata telah
menjadi istilah khusus, misalnya kata bunyi, bentuk dan tanda.
Batas antara relasi khusus tersebut dalam pemakaian
ternyata tidak selamanya berlaku konstan. Kreativitas manusia dalam menciptakan
dunia lambang ternyata bukan hanya terbatas pada penciptaan bahasa natural
seperti yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun bahasa artifisisal
seperti bahasa komputer maupun bahasa yang dikenal dalam logika simbolis,
melainkan juga mampu menciptakan bentuk kebahasaan yang bersifat khas dan
mungkin saja “aneh”. Bentuk kebahasaan yang bersifat khas itu dapat ditemui
misalnya dalam paparan kebahasaan para penyair. Bentuk khas tersebut ditandai
antara lain oleh adanya bentuk metaforis.
Metafor menjadi bentuk khas dan mungkin juga aneh karena relasi kata dalam
metafor ternyata melampaui batas relasi khusus yang telah disepakati bersama
dalam komunikasi keseharian. Kata sayap yang
secara khusus memiliki relasi dengan burung , oleh Goenawan Mohammad
dihubungkan dengan tahun seperti dalam baris puisinya, tahun pun tururn membuka sayapnya, sementara kata tidur yang sebenarnya khas milik manusia
dan binatang, oleh Chairil Anwar dihubungkan dengan tanah dan air seperti dalam
baris puisinya, dan kini tanah dan air
tidur hilang ombak (Anwar, tanpa tahun:32).
Dari dua contoh diatas, dapat diketahui bahwa metafor,
selain ditandai oleh adanya penggantian ciri relasi, penataan hubungannya pun
pastilah diawali oleh adanya asosiasi, konseptualisasi, dan analogi dengan
bertolak dari ciri acuan setiap kata. Pergantian tahun memiliki kesejajaran
hubungan dengan terbukanya sayap yang identik dengan perjalanan atau gerak
burung, sementara tanah dan air yang diam dapat dianologikan dengan hewan
maupun manusia yang sedang tidur. Sebab itulah Aristoteles, misalnya, merumuskan
pengertian metafor sebagai . . .the
aplication of a strange term either transfered from the genus and applied to
the species, or from the species and applied to the genus, or from one species
to another, or by analogy (Poetics, 1457 B, dalam Bickerton, 1981:44).
Kenyataan bahwa pemaknaan suatun kata juga tidak dapat
dilepaskan dari adanya intensi, asosiasi, maupun konseptualisasi para
pemakainya, akhirnya bentuk metaforis secara khusus tidak hanya ditemukan dalam
kreasi sastra, tetapi juga dapat ditemukan dalam komunikasi keseharian. Hanya
perbedaannya, apabila bentuk metaforis dalam kreasi sastra umumnya bersifat
perseorangan, maka bentuk metaforis dalam komunikasi keseharian berkaitan
dengan motivasi sosial sesuai dengan keberadaan simbol kebahsaan itu sendiri
yang bersifat arbitrer (cf. Todorow, 1971: 97). Kata membelai yang memiliki hubungan secara arbitrer dengan “usapan
tangan” akhirnya dapat dihubungkan dengan angin. Sementara pemindahan hubungan
itu pun tidak dilepaskan dari kemungkinan dapat tidaknya diterima dalam
komunikasi sosial. Dari terdapatnya metafor yang dapat memiliki sifat
perseorangan maupun sosial di atas, maka Sayre dan Muller mengungkap bahwa all
language is metafor (Bickerton, 1981:45). Sementara Warren dan Wellek, yang
mungkin menyadari bahwa meskipun setiap ujaran kebahsaan itu kesemuanya dapat
saja mengandung sifat metaforis, tingkat metaforisnya sebenarnya masih perlu
dipilah-pilahkan. Terdapat metafor yang secara khusus memiliki hubungan imaji
personal , metafor yang banyak menggunakan gejala alam , serta metafor yang
telah kehilangan ciri metaforis
sehubungan dengan motivasi personalnya. Untuk ketiga klasifikasi
tersebut, Wallek dan Warren memberikan
istilah private symbol, natural symbol, dan
blank symbol (Wellek dan Warren, 1956).
Sedangkan Wheelwright (1962), seperti diungkapkan oleh Bickerton, memberikan
istilah epifora, yakni untuk berbagai bentuk metafor yang telah bersifat umum,
serta diafora, yakni jenis metafor yang mengandung imaji secara tertutup serta
bersifat individual.
Dari sejumlah paparan di atas, akhirnya dapat disimpulkan
bahwa (1) dalam suatu bahasa, kosakata memiliki hubungan secara hierarkis dari
yang paling khusus menuju ke yang paling umum menuju ke yang khusus, (2) dari
adanya klas kehiponiman dalam setiap tingkatan serta adanya garis
vertikal setiap kata menuju ke yang paling umum, relasi antarkata selain
bersifat khusus juga dapat bersifat umum, (3) spesifikasi relasi umum dengan
relasi khusus, akibat adanya asosiasi, konseptualisasi, intensi, maupun analogi
para pemakainya akhirnya sering kali, tidak jelas meskipun demikian. (4)
pelanggaran batas spesifikasi tersebut pada dasarnya masih memperhatikan ciri
acuan dasar serta daya keberhasilannya dalam komunikasi.
Masalah lain yang juga
menjadi bidang kajian semantik structural
ataupun semantic leksikal ialah sinonimi. Menurut Palmer, synonymy is used to mean sameness of meaning
(Palmer, 1981:88), sedangkan bentuk bahasa
yang mengalami dn menjadi anggota dari sinonimi
disebut sinonim. Pengertian
sinonim itu sendiri, seperti diungkapkan Harimurti Kridalaksana, ialah bentuk
bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu
berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap
sinonim hanyalah kata-kata saja (Kridalaksana, 1982: 154).
Betulkah sinonim
mutlak itu ada ataukah yang ada sebenarnya hanya kuasisinonim, jawaban tentang hal itu masih menunjukkan adanya
berbagai perbedaan. Bagi Bloomfield, misalnya, sinonim mutlak itu tidak pernah
ada. Alasan Bloomfield, setiap bentuk kebahasaan pada dasarnya selalu memiliki
ketetapan dan kekhususan makna sehingga perbedaan fonem pun mengakibatkan
adanya perbedaan makna. Pendapat Bloomfield tersebut bertentangan dengan
pendapat dari Jonson dan Macaulay yang justru berpendapat bahwa sinonim mutlak
itu sebenarnya ada (Ullman, 1977: 144).
Kembali pada terdapatnya berbagai
ragam makna seperti yang telah dibahas dalam Bab IV di depan, penentuan ada
tidaknya sinonim mutlak itu seharusnya dikembalikan pada pertanyaan, kemiripan
maupun kesamaan dengan raga makna yang sama. Apabila dihubungkan dengan makna referensial serta makna akstensional, menurut hemat kami
sinonim mutlak itu memang ada. Kata wafat,
misalnya, sebagai kata yang telah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia,
memiliki sinonim mutlak dengan meninggal maupun
mangkat. Begitu juga kalimat Aditya pergi ke Jakarta. Ke Jakarta Aditya
pergi, maupun peri ke Jakarta Aditya,
meskipun ketiga kalimat itu memiliki struktur yang berbeda, makna ataupun
informasi factual yang diberikannya tetap sama.
Masalahnya memang menjadi lain bila
penentuan makna itu dikaitkan dengan adanya makna
intensional maupun makna kontekstual.
Dalam bahasa Jawa dialek Malang,
misalnya, terdapat kata koen ‘kamu’
dan kowe ‘kamu’ yang secara
referensial memiliki makna persis sama. Disebut demikian karena koen atau, kowe dapat
diacukan pada referen atau sasaran sapaan yang memiliki kondisi ikutan atau attendant condition (1) pemeran memiliki
tingkat generasi dan usia relative sama, (2) sudah akrab atau, paling tidak,
identitas masing-masing pemeran relative sudah saling diketahui, serta (3)
dalam hubungan informal yang bersifat interpersonal (Aminuddin, 1982a). akan
tetapi, dalam kaitannya dengan intense para pemakainya, kedua kata itu ternyata
memiliki nuansa yang berbeda. Penutur yang lagi jengkel atau marah, misalnya,
lazim menggunakan koen, dan bukan kowe. Hal itu sebenarnya juga sesuai
dengn nuansa intensionalitas yang diberikan kata mati, meninggal, dan wafat.
Gelandangan tak bernama, misalnya, andai detak jantungnya berhenti selamanya,
cukup disebut mati, sementara mereka
yang memiliki klas social menengah ke atas, dinyatakan meninggal atau wafat.
Dihubungkan
dengan konteks pamakaian, baik secara gramatikal, social, maupun situasional,
besar kemungkinan sinonim mutlak itu tidak ada. Kalimat Aditya pergi ke Jakarta dan Ke
Jakarta Aditya pergi, apabila dihubungkan dengan relasi gramatikal lainnya,
misalnya, Siapa yang pergi ? dan Ke mana dia pergi ? ternyata kedua
kalimat yang memiliki makna dasar sama itu memberikan nuansa samantis yang
berbeda-beda. Begitu pula bila dikaitka dengan dengan cirri relasi fungsi, nama
Aditya ternyata mengalami perpindahan
fungsi. Sebab itu, apabila kalimat Tanya yang pertama dapat dijawab hanya
dengan mengambil inti kalimat, yakni Aditya,
maka untuk pertanyaan kedua, frase ke
Jakarta, yang telah mengalami topikalisasi sehingga menjadi inti, ternyata
dapat digunakan sebagai jawabannya.
Ada
empat cara yang dapat digunakan dalam menentuan kemungkinan adanya sinonim. Keempat cara yang dimaksud
adalah :
1. Seperangkat
sinonim itu mungkin saja merupakan kata-kata yang digunakan dalam dialek yang
berbeda-beda. Kata pena dan rika dalam bahasa Jawa dialek Surabaya
memiliki terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang persis sama dengan koen atau kowe dalam bahasa jawa dialek Malang. Begitu juga ata cacak dan kakang memiliki terjemahan yang persis sama, yakni “kakak”. Akan
tetapi, apabila dalam setiap dialek masing-masing kata tersebut memiliki makna
dasar berbeda-beda, kata-kata tersebut tidak dapat ditentukan sebegai sinonim.
2. Suatu
kata yang semula dianggap memiliki kemiripan atau kesamaan makna, setelah
berada dalam berbagai pemakaian ada kemungkinan membuahkan makna yang
berbeda-beda. Kata bisa dan dapat, misalnya, meskipun secara
leksikal merupakan sisnonim, dalam konteks pemakain Saya nanti bisa datang dan saya
nanti dapat datang tetap pula dapat dianggap sinonim. Sewaktu berada dalam
konteks pemakain Bisa ular itu berbahaya,
kedu kata tersebut tidak dapat lagi disebut sinonim.
3. Suatu
kata, apabila ditinjau berdasarkan makna
kognitif, makna emotif, maupun
makna evalautif, mungkin saja
akhirnya menunjukkan adanya karakteristik tersendiri meskipun dalam pemakaian
sehari-hari semula dianggap memiliki kesinoniman dengan kata lainnya. Bentuk
demikian misalnya dapat ditemukan dalam pasangan kata ilmu dan pengetahuan, mengamati dan meneliti, serta antara mengusap
dan membelai. Apabila hal itu
terjadi, maka kata-kata yang semula dianggap sebagai kata yang berdiri
sendiri-sendiri.
4. Suatu
kata yang semula memiliki kolokasi sangat ketat, misalnya antara kopi dan minuman, kuncup dengan kembang, maupun pohon dengan batang,
sering kali dipakai secara tumpang tindih karena masing-masingnya dianggap
memiliki kesinoniman. Hal itu tentu saja tidak benar karena masing-masing kata
tersebut jelas masih memiliki cirri makna sendiri-sendiri. Sebab itu, pemakaian
yang tumpang tindih dapat mengakibatkan adanya salah pengertian.
5. Akibat
kekurangtahuan terhadap nilai makna suatu kata maupun kelompok kata, sering
kali bentuk kebahasaan yang berbeda-beda begitu saja dianggapn sinonim,
misalnya antara bentuk kembali kepangkuan
ilahi dengan meninggalkan dunia
kehidupan, antara merencanakan
dengan menginginkan, serta antara gambaran dengan bayangan.
Kelima
hal diatas, sebenarnya juga merupakan butir-butir yang patut diperhatikan para
pemakai bahasa dalam kegiatan komunikasi, baik secara tulis maupun lisan.
Disebut demikian karena kesalahan dalam menentukan fitur semantis kata yang
satu dengan lainnya dapat menimbulkan kejanggalan, dapat juga menyebabkan
kesalahan penerimaan informasi. Pernyataa seperti Andropov telah kembali
kepangkuan ilahi adalah pernyataan yang terasa janggal, dan pada sisi lain
dapat juga menyebabkan adanya kesalahan penerimaan informasi.
penguasaan sinonim secara benar,
sebenarnya juga sangat berperanan dalam kegiatan wicara maupun mengarang,
terutama dalam kaitannya dengan diksi
disebut demikian karena seperti diungkapkan oleh Collinson (Ullman, 1997: 142),
kesamaan maupun kemiripan makna bentuk kebahsaan yang satu dengan lainnya, bisa
jadi masing-masing memiliki nuansa perbedaan tertentu. Nuansa perbedaan itu
dapat berhubungan dengan kenyataan bahwa :
1. Kata
yang satu memiliki makna yang lebih umum dari yang lainnya, misalnya antara
kata bunga dengan mawar, sehingga pemilihan kata yang memiliki acuan makna
khusus akhirnya lebih mampu memperjelas dan mengoperasionalkan suatu gagasan ;
2. Kata
yang satu lebih menuansakan pengertian yang dalam daripada lainnya sehingga
nilai intensionalitasnya lebih tinggi, misalnya antara kata mempelajari dengan
mengkaji sehingga penutur yang menginginkan adanya intensitas paparan, tentu
memilih kata mengkaji, dan bukan mempelajari ;
3. Kata
yang satu lebih memiliki daya emotif daripada yang lain, misalnya antara kata
memukul dan menggebrak dalam bentuk memukul meja dan menggebrak meja ;
4. Kata
yang satu lebih bersifat netral atau umum daripada yang lain, misalnya antara
kata latihan dengan tes, bertanya dengan menguji ;
5. Kata
yang satu lebih professional daripada yang lain, misalnya antara ata diskusi
dengan pembahasan, kepustakaan dengan bacaan, serta kontemplasi dengan renungan
;
6. Kata
yang satu lebih menuansakan kesan keindahan daripada yang lain, misalnya antara
kata dewi malam dengan bulan, aroma dengan bau, serta berguguran dengan
berjatuhan ;
7. Kata
yang satu lebih bersifat kolokial daripada yang lain, misalnya ayo dengan mari,
situ dengan anda, serta ngomong dengan berbicara ;
8. Kata
yang satu lebih banyak dipengaruhi dialek atau warna lokal daripada yang lain,
misalnya nangkring dengan duduk, ngedumel dengan menggerutu, serta ngapain
dengan mengapa ;
9. Bentuk
sinonim yang satu termasuk dalam bahasa anak-anak, misalnya antara kucing
dengan meong, minum dengan mimik, makan dengan maem.
Dari
terdapatnya sejumlah nuansa perbedaan diatas, dapat dimaklumi bila sinonim juga
banyak dimanfaatkan dalam kegiatan mengarang. Sehubungan dengan kegiatan
mengarang ataupun penataan gaya bahasa dalam ujaran, sinonim lebih membuka
peluuang untuk (1) memilih kosakata yang lebih sesuai dengan konteks tanpa
harus mengubah gagasan, (2) mengadakan variasi dalam pemakaian kosakata sehingga
ujaran maupun karangan yang ditampilkan menjadi lebih segar, (3) memilih
kosakata yang terasa lebih akrab dengan penanggap, serta (4) membuka peluang
bagi penutur maupun pengarang untuk menyusun paparan yang lebih memberikan
kesan akademis maupun professional. Selain itu, terdapatnya kolokasi, hiponimi maupun antonimi,
hubungan bertentangan, maupun polisemi
dan homonimi juga perlu diperhatikan
baik-baik dalam kegiatan tuturan, baik secara lisan maupun tulis.
Adapun pengertian hiponim dan sinonimi menurut Abdul chaer , (2009: 98)
sebagai berikut :
a. Hiponimi
Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani
kuno, yaitu onoma berartib’nama’ dan hypo berarti ‘di bawah’. Jadi secara
harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama ain’. Contoh, kata tongkol
adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada atau termasuk
dalam makna atau kata ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol
melainkan juga termasuk bandeng, tengiri, teri, mijahir, cekalang, dan
sebagainya. Kalau diskemakan menjadi :
ikan
Tongkol bandeng tengiri teri mujair cakalang
Bagaimana
hubungan antara tongkol, bandeng, tenggiri, dan mujair yang sama-sama merupakan
hiponim terhadap ikan ? biasanya disebut dengan istilah kohiponim. Jadi,
tongkol berkohiponim dengan tenggiri dengan bandeng, dan lain-lainnya.
b. Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal
dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti
‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau
hal yang sama’. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang
bersinonim; begitu juga dengan kata bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah
kata yang bersinonim; mati, meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang
bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua
arah. Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang
juga bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga dengan yang lainnya.
PENUTUP
II.
SIMPULAN
Hiponim
EmoticonEmoticon