Monday, September 25, 2017

SEMANTIK “HIPONIMI DAN SINOMINI”

                           SEMANTIK
“HIPONIMI DAN SINOMINI”

HIPONIMI DAN SINONIMI
       I.            PEMBAHASAN
1.      HIPONIMI
Sewaktu menggambarkan hubungan makna kata yang satu dengan yang lainnya, kita mungkin dapat menemukan sejumlah kata yang memiliki kemiripan ciri acuan referen sehingga keseluruhannya dapat diberi label umum yang berlaku bagi setiap anggota yang memiliki kemiripan ciri acuan tersebut. Contoh : kata mawar misalnya memiliki hubungan ciri dengan melati, dahlia, kenanga, maupun nusa indah sehingga kumpulan kata yang memiliki hubungan ciri tersebut dapat diberi julukan umum, bunga sejumlah kata yang memiliki hubungan atau kemiripan ciri referen itu disebut subordinate, sedangkan julukan yang memayunginya disebut superordinate, Hubugan antara mawar dengan bunga disebut hiponim, sementara hubungan antara mawar dengan melati disebut kohiponim. Istilah hiponimi berkaitan dengan dengan proses pelibatan sejumlah makna yang terkandung di dalam kata mawar, melati, dan lain-lainnya ke dalam satu naungan julukan, yakni bunga.
Apabila bentuk sinonim seperti Bandung dengan Kota Kembang memiliki hubungan simetris, makna hiponimi memiliki hubungan transitif (Lyons, 1979 : 292). Sebab itu, berbeda dengan formula yang telah dipaparkan dalam bab IV di depan, dalam hubungan transistif, formula yang digunakan palmer dalam memberikan hubungan tulip dengan bunga adalah Vx (T (x)  B(x) ). Formula itu dapat dibaca, semua yang memiliki ciri x, dan tulip adalah salah satu di antara yang memiliki ciri x, maka tulip adalah bunga sebagai julukan umum yang menghimpun ciri x.
Diacukan pada ciri yang lain, bunga dapat juga menjadi kohiponim dari rumput, beringin dan lain-lainnya yang keseluruhannya menunjuk pada satu julukan umum, tumbuh-tumbuhan. Seperti telah dicontohkan di depan, tumbuh-tumbuhan bisa menjadi kohiponim dari manusia maupun hewan yang berada dibawah satu julukan umum, makhluk. Sampai pada tingkatan ini, akhirnya dapat diketahui pula bahwa pemberian ciri secara ekstensional dari sejumlah makna kata yang mengalami hiponimi akhirnya juga tidak lepas dari titik vertikal pada sentralnya. Hubungan sentral dengan tumbuh-tumbuhan yang memiliki sejumlah sub-ordinate, manusia maupun hewan juga memiliki sejumlah sub-ordinate. Dengan demikian, hiponimi memiliki percabangan dan tata tingkat yang dapat digambarkan pada gambar bagan 11.
                                                     
                                                            A
 



                                                            b
                                              
                                         c                 d                    e                                  c
       a                                                                                            f                              
                                                                                            


Bagan 11: tata tingkat kata dalam hiponimi

Dari jaringan bagan itu dapat diketahui bahwa A sebagai penanda makhluk, memiliki jaringan hubungan yang mencakup baik a = manusia, b = hewan serta c = tumbuh-tumbuhan. Baik a,b maupun c sebagai subordinate dari makhluk, pada tataran berikutnya menjadi superordinate dari tingkatan subordinate berikutnya. Manusia dapat menjadi superordinate dari seebutan sejumlah ras maupun suku, hewan dapat menajadi superordinate dari kambing dan lembu, sementara tumbuh-tumbuhan menjadi superordinate dari bunga dan pepohon. Bertolak dari situasi seperti diatas, dapat disimpulkan bahwa kata manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dapat memiliki kedudukan ganda. Selain menjadi subordinate, kata-kata tersebut juga menjadi superdinate dari tataran subordinate berikutnya. Sebab itulah suatu kata, selain memiliki relasi umum, misalnya kehidupan,, pertumbuhan, kematian dapat dihubungkan dengan kata manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan dengan berbagai bahawahannya, juga memiliki relasi khusus. Kata sekolah, bikah, ibadah, misalnya berlaku untuk manusia, kata menanduk, mengembek, maupun memamah biak memiliki relasi khusus dengan binatang, sementara kata getah, dahan, dan persemaian memiliki relasi khusus dengan tumbuh-tumbuhan. Relasi khusus itu lebih lanjut bisa menjadi tambah menyempit, yakni apabila suatu kata telah menjadi istilah khusus, misalnya kata bunyi, bentuk dan tanda.
Batas antara relasi khusus tersebut dalam pemakaian ternyata tidak selamanya berlaku konstan. Kreativitas manusia dalam menciptakan dunia lambang ternyata bukan hanya terbatas pada penciptaan bahasa natural seperti yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun bahasa artifisisal seperti bahasa komputer maupun bahasa yang dikenal dalam logika simbolis, melainkan juga mampu menciptakan bentuk kebahasaan yang bersifat khas dan mungkin saja “aneh”. Bentuk kebahasaan yang bersifat khas itu dapat ditemui misalnya dalam paparan kebahasaan para penyair. Bentuk khas tersebut ditandai antara lain oleh adanya bentuk metaforis. Metafor menjadi bentuk khas dan mungkin juga aneh karena relasi kata dalam metafor ternyata melampaui batas relasi khusus yang telah disepakati bersama dalam komunikasi keseharian. Kata sayap yang secara khusus memiliki relasi dengan burung , oleh Goenawan Mohammad dihubungkan dengan tahun seperti dalam baris puisinya, tahun pun tururn membuka sayapnya, sementara kata tidur yang sebenarnya khas milik manusia dan binatang, oleh Chairil Anwar dihubungkan dengan tanah dan air seperti dalam baris puisinya, dan kini tanah dan air tidur hilang ombak (Anwar, tanpa tahun:32).
Dari dua contoh diatas, dapat diketahui bahwa metafor, selain ditandai oleh adanya penggantian ciri relasi, penataan hubungannya pun pastilah diawali oleh adanya asosiasi, konseptualisasi, dan analogi dengan bertolak dari ciri acuan setiap kata. Pergantian tahun memiliki kesejajaran hubungan dengan terbukanya sayap yang identik dengan perjalanan atau gerak burung, sementara tanah dan air yang diam dapat dianologikan dengan hewan maupun manusia yang sedang tidur. Sebab itulah Aristoteles, misalnya, merumuskan pengertian metafor sebagai . . .the aplication of a strange term either transfered from the genus and applied to the species, or from the species and applied to the genus, or from one species to another, or by analogy (Poetics, 1457 B, dalam Bickerton, 1981:44).
Kenyataan bahwa pemaknaan suatun kata juga tidak dapat dilepaskan dari adanya intensi, asosiasi, maupun konseptualisasi para pemakainya, akhirnya bentuk metaforis secara khusus tidak hanya ditemukan dalam kreasi sastra, tetapi juga dapat ditemukan dalam komunikasi keseharian. Hanya perbedaannya, apabila bentuk metaforis dalam kreasi sastra umumnya bersifat perseorangan, maka bentuk metaforis dalam komunikasi keseharian berkaitan dengan motivasi sosial sesuai dengan keberadaan simbol kebahsaan itu sendiri yang bersifat arbitrer (cf. Todorow, 1971: 97). Kata membelai yang memiliki hubungan secara arbitrer dengan “usapan tangan” akhirnya dapat dihubungkan dengan angin. Sementara pemindahan hubungan itu pun tidak dilepaskan dari kemungkinan dapat tidaknya diterima dalam komunikasi sosial. Dari terdapatnya metafor yang dapat memiliki sifat perseorangan maupun sosial di atas, maka Sayre dan Muller mengungkap bahwa all language is metafor (Bickerton, 1981:45). Sementara Warren dan Wellek, yang mungkin menyadari bahwa meskipun setiap ujaran kebahsaan itu kesemuanya dapat saja mengandung sifat metaforis, tingkat metaforisnya sebenarnya masih perlu dipilah-pilahkan. Terdapat metafor yang secara khusus memiliki hubungan imaji personal , metafor yang banyak menggunakan gejala alam , serta metafor yang telah kehilangan ciri metaforis  sehubungan dengan motivasi personalnya. Untuk ketiga klasifikasi tersebut, Wallek dan Warren  memberikan istilah private symbol, natural symbol, dan blank symbol (Wellek dan Warren, 1956). Sedangkan Wheelwright (1962), seperti diungkapkan oleh Bickerton, memberikan istilah epifora, yakni untuk berbagai bentuk metafor yang telah bersifat umum, serta diafora, yakni jenis metafor yang mengandung imaji secara tertutup serta bersifat individual.
Dari sejumlah paparan di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa (1) dalam suatu bahasa, kosakata memiliki hubungan secara hierarkis dari yang paling khusus menuju ke yang paling umum menuju ke yang khusus, (2) dari adanya klas kehiponiman  dalam setiap tingkatan serta adanya garis vertikal setiap kata menuju ke yang paling umum, relasi antarkata selain bersifat khusus juga dapat bersifat umum, (3) spesifikasi relasi umum dengan relasi khusus, akibat adanya asosiasi, konseptualisasi, intensi, maupun analogi para pemakainya akhirnya sering kali, tidak jelas meskipun demikian. (4) pelanggaran batas spesifikasi tersebut pada dasarnya masih memperhatikan ciri acuan dasar serta daya keberhasilannya dalam komunikasi.
            Masalah lain yang juga menjadi bidang kajian semantik structural ataupun semantic leksikal ialah sinonimi. Menurut Palmer, synonymy is used to mean sameness of meaning (Palmer, 1981:88), sedangkan bentuk bahasa yang mengalami dn menjadi anggota dari sinonimi disebut sinonim. Pengertian sinonim itu sendiri, seperti diungkapkan Harimurti Kridalaksana, ialah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja (Kridalaksana, 1982: 154).
            Betulkah  sinonim mutlak itu ada ataukah yang ada sebenarnya hanya kuasisinonim, jawaban tentang hal itu masih menunjukkan adanya berbagai perbedaan. Bagi Bloomfield, misalnya, sinonim mutlak itu tidak pernah ada. Alasan Bloomfield, setiap bentuk kebahasaan pada dasarnya selalu memiliki ketetapan dan kekhususan makna sehingga perbedaan fonem pun mengakibatkan adanya perbedaan makna. Pendapat Bloomfield tersebut bertentangan dengan pendapat dari Jonson dan Macaulay yang justru berpendapat bahwa sinonim mutlak itu sebenarnya ada (Ullman, 1977: 144).
            Kembali pada terdapatnya berbagai ragam makna seperti yang telah dibahas dalam Bab IV di depan, penentuan ada tidaknya sinonim mutlak itu seharusnya dikembalikan pada pertanyaan, kemiripan maupun kesamaan dengan raga makna yang sama. Apabila dihubungkan dengan makna referensial serta makna akstensional, menurut hemat kami sinonim mutlak itu memang ada. Kata wafat, misalnya, sebagai kata yang telah menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia, memiliki sinonim mutlak dengan meninggal maupun mangkat. Begitu juga kalimat Aditya pergi ke Jakarta. Ke Jakarta Aditya pergi, maupun peri ke Jakarta Aditya, meskipun ketiga kalimat itu memiliki struktur yang berbeda, makna ataupun informasi factual yang diberikannya tetap sama.
            Masalahnya memang menjadi lain bila penentuan makna itu dikaitkan dengan adanya makna intensional maupun makna kontekstual. Dalam bahasa Jawa dialek         Malang, misalnya, terdapat kata koen ‘kamu’ dan kowe ‘kamu’ yang secara referensial memiliki makna persis sama. Disebut demikian karena koen atau,  kowe dapat diacukan pada referen atau sasaran sapaan yang memiliki kondisi ikutan atau attendant condition (1) pemeran memiliki tingkat generasi dan usia relative sama, (2) sudah akrab atau, paling tidak, identitas masing-masing pemeran relative sudah saling diketahui, serta (3) dalam hubungan informal yang bersifat interpersonal (Aminuddin, 1982a). akan tetapi, dalam kaitannya dengan intense para pemakainya, kedua kata itu ternyata memiliki nuansa yang berbeda. Penutur yang lagi jengkel atau marah, misalnya, lazim menggunakan koen, dan bukan kowe. Hal itu sebenarnya juga sesuai dengn nuansa intensionalitas yang diberikan kata mati, meninggal, dan wafat. Gelandangan tak bernama, misalnya, andai detak jantungnya berhenti selamanya, cukup disebut mati, sementara mereka yang memiliki klas social menengah ke atas, dinyatakan meninggal atau wafat.
            Dihubungkan dengan konteks pamakaian, baik secara gramatikal, social, maupun situasional, besar kemungkinan sinonim mutlak itu tidak ada. Kalimat Aditya pergi ke Jakarta dan Ke Jakarta Aditya pergi, apabila dihubungkan dengan relasi gramatikal lainnya, misalnya, Siapa yang pergi ? dan Ke mana dia pergi ? ternyata kedua kalimat yang memiliki makna dasar sama itu memberikan nuansa samantis yang berbeda-beda. Begitu pula bila dikaitka dengan dengan cirri relasi fungsi, nama Aditya ternyata mengalami perpindahan fungsi. Sebab itu, apabila kalimat Tanya yang pertama dapat dijawab hanya dengan mengambil inti kalimat, yakni Aditya, maka untuk pertanyaan kedua, frase ke Jakarta, yang telah mengalami topikalisasi sehingga menjadi inti, ternyata dapat digunakan sebagai jawabannya.
Ada empat cara yang dapat digunakan dalam menentuan kemungkinan adanya sinonim. Keempat cara yang dimaksud adalah :
1.      Seperangkat sinonim itu mungkin saja merupakan kata-kata yang digunakan dalam dialek yang berbeda-beda. Kata pena dan rika dalam bahasa Jawa dialek Surabaya memiliki terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang persis sama dengan koen atau kowe dalam bahasa jawa dialek Malang. Begitu juga ata cacak dan kakang memiliki terjemahan yang persis sama, yakni “kakak”. Akan tetapi, apabila dalam setiap dialek masing-masing kata tersebut memiliki makna dasar berbeda-beda, kata-kata tersebut tidak dapat ditentukan sebegai sinonim.
2.      Suatu kata yang semula dianggap memiliki kemiripan atau kesamaan makna, setelah berada dalam berbagai pemakaian ada kemungkinan membuahkan makna yang berbeda-beda. Kata bisa dan dapat, misalnya, meskipun secara leksikal merupakan sisnonim, dalam konteks pemakain Saya nanti bisa datang dan saya nanti dapat datang tetap pula dapat dianggap sinonim. Sewaktu berada dalam konteks pemakain Bisa ular itu berbahaya, kedu kata tersebut tidak dapat lagi disebut sinonim.
3.      Suatu kata, apabila ditinjau berdasarkan makna kognitif, makna emotif, maupun makna evalautif, mungkin saja akhirnya menunjukkan adanya karakteristik tersendiri meskipun dalam pemakaian sehari-hari semula dianggap memiliki kesinoniman dengan kata lainnya. Bentuk demikian misalnya dapat ditemukan dalam pasangan kata ilmu dan pengetahuan, mengamati dan meneliti, serta antara mengusap dan membelai. Apabila hal itu terjadi, maka kata-kata yang semula dianggap sebagai kata yang berdiri sendiri-sendiri.
4.      Suatu kata yang semula memiliki kolokasi sangat ketat, misalnya antara kopi dan minuman, kuncup dengan kembang, maupun pohon dengan batang, sering kali dipakai secara tumpang tindih karena masing-masingnya dianggap memiliki kesinoniman. Hal itu tentu saja tidak benar karena masing-masing kata tersebut jelas masih memiliki cirri makna sendiri-sendiri. Sebab itu, pemakaian yang tumpang tindih dapat mengakibatkan adanya salah pengertian.
5.      Akibat kekurangtahuan terhadap nilai makna suatu kata maupun kelompok kata, sering kali bentuk kebahasaan yang berbeda-beda begitu saja dianggapn sinonim, misalnya antara bentuk kembali kepangkuan ilahi dengan meninggalkan dunia kehidupan, antara merencanakan dengan menginginkan, serta antara gambaran dengan bayangan.
Kelima hal diatas, sebenarnya juga merupakan butir-butir yang patut diperhatikan para pemakai bahasa dalam kegiatan komunikasi, baik secara tulis maupun lisan. Disebut demikian karena kesalahan dalam menentukan fitur semantis kata yang satu dengan lainnya dapat menimbulkan kejanggalan, dapat juga menyebabkan kesalahan penerimaan informasi. Pernyataa seperti Andropov telah kembali kepangkuan ilahi adalah pernyataan yang terasa janggal, dan pada sisi lain dapat juga menyebabkan adanya kesalahan penerimaan informasi.
penguasaan sinonim secara benar, sebenarnya juga sangat berperanan dalam kegiatan wicara maupun mengarang, terutama dalam kaitannya dengan diksi disebut demikian karena seperti diungkapkan oleh Collinson (Ullman, 1997: 142), kesamaan maupun kemiripan makna bentuk kebahsaan yang satu dengan lainnya, bisa jadi masing-masing memiliki nuansa perbedaan tertentu. Nuansa perbedaan itu dapat berhubungan dengan kenyataan bahwa :
1.      Kata yang satu memiliki makna yang lebih umum dari yang lainnya, misalnya antara kata bunga dengan mawar, sehingga pemilihan kata yang memiliki acuan makna khusus akhirnya lebih mampu memperjelas dan mengoperasionalkan suatu gagasan ;
2.      Kata yang satu lebih menuansakan pengertian yang dalam daripada lainnya sehingga nilai intensionalitasnya lebih tinggi, misalnya antara kata mempelajari dengan mengkaji sehingga penutur yang menginginkan adanya intensitas paparan, tentu memilih kata mengkaji, dan bukan mempelajari ;
3.      Kata yang satu lebih memiliki daya emotif daripada yang lain, misalnya antara kata memukul dan menggebrak dalam bentuk memukul meja dan menggebrak meja ;
4.      Kata yang satu lebih bersifat netral atau umum daripada yang lain, misalnya antara kata latihan dengan tes, bertanya dengan menguji ;
5.      Kata yang satu lebih professional daripada yang lain, misalnya antara ata diskusi dengan pembahasan, kepustakaan dengan bacaan, serta kontemplasi dengan renungan ;
6.      Kata yang satu lebih menuansakan kesan keindahan daripada yang lain, misalnya antara kata dewi malam dengan bulan, aroma dengan bau, serta berguguran dengan berjatuhan ;
7.      Kata yang satu lebih bersifat kolokial daripada yang lain, misalnya ayo dengan mari, situ dengan anda, serta ngomong dengan berbicara ;
8.      Kata yang satu lebih banyak dipengaruhi dialek atau warna lokal daripada yang lain, misalnya nangkring dengan duduk, ngedumel dengan menggerutu, serta ngapain dengan mengapa ;
9.      Bentuk sinonim yang satu termasuk dalam bahasa anak-anak, misalnya antara kucing dengan meong, minum dengan mimik, makan dengan maem.
Dari terdapatnya sejumlah nuansa perbedaan diatas, dapat dimaklumi bila sinonim juga banyak dimanfaatkan dalam kegiatan mengarang. Sehubungan dengan kegiatan mengarang ataupun penataan gaya bahasa dalam ujaran, sinonim lebih membuka peluuang untuk (1) memilih kosakata yang lebih sesuai dengan konteks tanpa harus mengubah gagasan, (2) mengadakan variasi dalam pemakaian kosakata sehingga ujaran maupun karangan yang ditampilkan menjadi lebih segar, (3) memilih kosakata yang terasa lebih akrab dengan penanggap, serta (4) membuka peluang bagi penutur maupun pengarang untuk menyusun paparan yang lebih memberikan kesan akademis maupun professional. Selain itu, terdapatnya kolokasi, hiponimi maupun antonimi, hubungan bertentangan, maupun polisemi dan homonimi juga perlu diperhatikan baik-baik dalam kegiatan tuturan, baik secara lisan maupun tulis.
Adapun pengertian hiponim  dan sinonimi menurut Abdul chaer , (2009: 98) sebagai berikut :      
a.       Hiponimi
Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berartib’nama’ dan hypo berarti ‘di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama ain’. Contoh, kata tongkol adalah hiponim terhadap kata ikan sebab makna tongkol berada atau termasuk dalam makna atau kata ikan. Tongkol memang ikan tetapi ikan bukan hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tengiri, teri, mijahir, cekalang, dan sebagainya. Kalau diskemakan menjadi :
ikan



Tongkol           bandeng                      tengiri              teri       mujair              cakalang
Bagaimana hubungan antara tongkol, bandeng, tenggiri, dan mujair yang sama-sama merupakan hiponim terhadap ikan ? biasanya disebut dengan istilah kohiponim. Jadi, tongkol berkohiponim dengan tenggiri dengan bandeng, dan lain-lainnya.
b.      Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim; begitu juga dengan kata bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonim; mati, meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang juga bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga dengan yang lainnya.




















PENUTUP
    II.            SIMPULAN

Hiponim 

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon