MAKALAH
PSIKOLINGUISTIK
KEUNIVERSALAN
DAN PEMEROLEHAN BAHASA
A.
Keuniversalan
Bahasa
Dalam aliran linguistik
kontemporer, peran keuniversalan bahasa tidak dapat dipisahkan dari pemerolehan
bahasa. Anak dapat memperoleh bahasa manapun karena adanya sifat universal pada
bahasa. Konsep keuniversalan bahasa perlu dimengerti dengan baik agar kita
dapat memahami bagaimana anak memperoleh bahasa. Konsep universal bukan yang
mutlak tetapi yang relatif.
Berdasarkan gradasi tersebut Comrie
( 1989) membagi keuniversalan bahasa menjadi dua kelompok besar, yakni
keuniversalan absolute dan keuniversalan tendensius. Dengan memperlihatkan
gejala implikasional maka menurut Comrie ada empat kelompok. Kelompok pertama
adalah keuniversalan absolute non implikasional. Dalam kelompok ini tidak ada
perkecualian. Contoh: semua bahasa memiliki bunyi vokal, bahasa manapun di
dunia ini menggabungkan bunyi untuk membentuk satu kata. Kelompok kedua adalah
keuniversalan absolute implikasional. Contoh: bila suatu bahasa mempunyai
reflex persona pertama/ kedua, maka bahasa itu juga mempunyai reflex persona
ketiga bila suatu bahasa mempunyai bunyi hambat velar, bahasa tersebut pasti
mempunyai bunyi hambat bilabial. Kelompok ketiga adalah keuniversalan
tendensius non implikasional. Contoh: hampir semua bahasa memiliki konsonan
asal. Kelompok keempat adalah keuniversalan tendensius implikasional. Contoh:
bila suatau bahasa memiliki urutan dasar SVO, maka kemungkinanya adalah bahwa
bahasa tadi memakai urutan preposisi.
Selaras dengan klasifikasi Comrie,
Aitchison (1996) membagi keuniversalan berdasarkan keterangan firmanes dan
ketergantungan independen :
1.
Keuniversalan absolute
2.
Keuniversalan statistical, merupakan
keuniversalan yang umumnya, tetapi tidak selalu terdapat pada bahasa.
3.
Keuniversalan tak terbatas, merujuk pada
adanya fitur yang terdapat di bahasa manapun.
4.
Keuniversalan implikasional,menyatakan
bahwa ada tidaknya suatu fitur yang ditentukan oleh ada tidaknya fitur yang
lain.
Menurut Comsky manusia mempunyai apa yang
dia namakan facualties of the mind, yakni semacam kapling-kapling intelektual
dan abtrak dalam benak otak mereka. Salah satu dari kapling-kapling ini
dijatahkan untuk pemakaian dan pemerolehan bahasa. Pada saat lahir anak
mempunyai bekal kodrati dalam bentuk suatu mekanisme abstrak yang dinamakan
language acquisition device ( LAD), yang diterjemahkan menjadi piranti pemerolehan
bahasa ( PPB). PPB menerima korpus dalam bentuk kalimat-kalimat. Meskipun
kalimat merupakan manifestasi dari kompetensi seseorang, tetap saja korpus
seperti ini seringkali berbentuk kalimat-kalimat yang rancu. Namun demikian,
dengan PPB yang dimilikinya anak dapat menerap esensi yang benar kemudian
dikembangkan menjadi wujud bahasa yang apik. Dengan demikian, pemerolehan
bahasa itu sebenarnya bukan suatu proses yang dilakukan oleh, tetapi yang
terjadi pada anak.
|
|||||||
|
|||||||
Bagan: korpus kopetensi
B.
Pemerolehan
Bahasa
Pemerolehan bahasa
seorang anak berkaitan erat dengan keuniversalan bahasa. Bahkan keterkaitan ini
lebih menjurus lagi dalam arti bahwa ada elemen-elemen bahasa yang urutan
pemerolehannya bersifat universal absolute, ada yang universal statistika, dan
ada pula yang universal implikasional. Dalam komponen fonologi, sifat
keabsolutanya sangat tampak dalam arti bahwa suatu bunyi tidak mungkin dikuasai
anak sebelum bunyi lain meskipun kendala seperti ini tidak berlaku untukseluruh
bunyi pada bahasatersebut. Dalam komponen sintaktik kecendrungan untuk bersifat
absolute tampaknya kurang kuat, sedangkan dalam komponen semantik kecenrungan
di tiga komponen ini.
1. Keuniversalan dan pemerolehan bunyi
Dalam kaitan antara konsep universal dengan
pemerolehan bahasa, khususnya pemerolehan fonologis, Jakobson (1968) merupakan
tokoh yang sangat berpengaruh. Dia mengemukakan adanya keuniversalan dalam
bunyi itu sendiri dan anak memperoleh bunyi-bunyi ini melalui suatu cara yang
konsisten. Bunyi yang pertama keluar dari anak adalah kontras antara vokal
disebut sebagai sistem vokal minimal yang sifatnya universal artinya dalam
bahasa manapun ketiga bunyi vokal ini pasti ada:
I U
A
Suatu bahasa bisa memiliki lebih dari
tiga vokal tetapi tidak ada bahasa yang memiliki lebih dari tiga vokal. Bahasa
seperti bahasa Lak di Daghestan Tengah, Tinggit di Amerika Utara, Aranda,
Nyangumata, dan Gugu-Yalangi di Australia merupakan contoh dari 17 bahasa yang
memiliki hanya tiga vokal.
Mengenai
konsonan, Jakobson mengatakan bahwa kontras pertama yang muncul adalah oposisi
antara oral dengan nasal ([P-t]-[m-n] dan kemudian disusul oleh labial dengan
dental ([p]-[t]). Sistem kontas seperti ini disebut dengan consonantal minimal
dan terdapat pada bahasa manapun didunia kecuali bahasa Tinggit yang penuturnya
secara tradisional sengaja merusak bentuk bibirnya. Bahwa inventari bunyi-bunyi
ini bisa saja berbeda dari satu bahasa ke bahasa yang lain memang merupakan fakta,
tetapi hubungan sesame bunyi itu sendiri bersifat universal.
2.
Keuniversalan
dan pemerolehan sintaksis
Dalam bidang sintaksis, memang
banyak sekali yang ditulis orang tetapi belum ada tulisan lengkap yang sifatnya
menyeluruh dan berlaku secara universal, sepadan dengan apa yang telah
dinyatakan oleh Jakobokson dalam bidang fonologi. Dengan demikian, state of the art dalam penelitian
mengenai pemerolehan sintaksis dapat dikatakan masih sporadic dan fragmental.
Peneliti seperti Schlesinger bahkan mengatakan bahwa saat ini “tidak ada teori
pemerolahan bahasa di pasaran yang benar-benar
sudah mantap”, yang ada hanyalah “sejumlah hipotese yang dianggap saat
ini tentative dan memungkinkan diperbaiki berdasarakan bukti-bukti lain yang
akan ditemukan” (1994: 86). Namun demikian, dengan segala kekurangan dan
kesimpangsiuran ini ada Penemuan-penemuan yang telah teruji kebenarannya
sehingga paling tidak bias dinamakan universal tendensius.
. Misalnya, anak mengatakan [tatan]
biasa mempunyai maksud banyak: (1) dia minta kacang, (2) dia menunjuk kacang
disuatu tempat. Dalam bidang sintaksis anak mulai dengan ujaran satu kata ,
kemudian ujaran dua kata, dan akhirnya ujaran tiga dan multikata. Meskipun
ujaran satu kata secara sintaksis sangat sederhana, secara semantis uajaran ini
bermulti arah karena makna dari ujaran tersebut hanya dapat ditafsirkan sesuai
dengan situasi yang ada, dan itupun belum tentu bermakna tunggal
Interpretasi ini menjadi agak mudah
setelah anak masuk dalam tahap ujaran dua kata karena paling tidak kita
mempunyai indicator yang bertalian. Pada tahap ini kata-kata merujuk pada kasus
serta perbuatan atau proses yang dinyatakan oleh kedua kata tersebut. Setelah
ujaran kedua anak akan mudah untuk memulai ujaran ketiga atau seterusnya.
Bentuk-bentuk kalimat yang rumit, seperti sematan tengah (center embedding) dikuasai lebih belakngan dibandingkan dengan
peluasan belakang ( right hanf embedding)
karena anak pada umumnya menghindari kontraksi yang memisahkan dua elemen yang
seharusnya berdekatan. Dalambidang morfologi adapula kecenderungan bagi anak
untuk memperoleh afiks infleksional daripada afiks derivasional (Peters, 1995).
Demikian pula afiks yang mempunyai bentuk dan makna yang ajeng umumnya dikuasai
lebih awal daripada afiks-afiks yang lain bentuk atau maknanya sering berubah.
Tatabahasa Universal adalah suatu
mekanisme pada benak anak yang memungkinkan ia membangun tatabahasa dari
tatabahsa yang mentah yang masuk dari lingkungan sekitarnya. TU terdiri dari
suatu perangkat prinsipel dan suatu perangkat parameter yang mengendalikan
wujud bahasa manusia itu satu pihak mirip, tetapi dipihak lain juga berbeda,
satu dari yang lain (Cook, 1988). Ada beberapa prinsipel, salah satu
diantaranya adalah prinsipel yang dinamakan Strructure-
Defendency Principle, Prinsipel ketergantungan Struktur (PKS). PKS
menyatakan bahwa bahasa bukan terdiri dari element-element yang sifatnya
linear, tetapi terorganisir dalam suatu hubungan structural. Perhatikan contoh
berikut:
1. Ayah
memanggil dia.
2. Ayah
memanggil orang tua.
3. Ayah
memanggil orang tua dari Cirebon itu.
4. Ayah
memanggil orang yang memakai jaket merah
itu.
Kata-kata
yang dicetak miring di atas membentuk suatu struktur dalam kelompok
masing-masing yang dinamakan frase nomina, FN. Dalam FN ini terjadi suatu
hubungan srtruktural yang membuat keseluruhan element menjadi satu kesatuan.
Ketergantungan structural seperti ini tidak memungkinkan kita untuk memisahkan
unsur-unsur yang ada di dalamnya.
Prinsipel dan Parameter inilah yang
menyebabkan anak dapat membentuk konstruksi yang benar dan dengan cepat
meskipun sampel datanya terbatas dan “amburadul”. Dengan prinsipel abstrak yang
sudah tersedia secara kodrati dan mendasari semua bahasa manusia, tugas anak
hanyalah memperolah kosakata yang tersajikan padanya dan menerapkan
parameter-parameter yang berlaku untuk bahasa yang bersangkutan. Dalam apapun
yang dinamakan lexical parameterization
hypothesis dinyatakan bahwa parameter itu berada pada kategori fungsional
dalam leksikon. Kategori fungsional ini diartikan sama dengan apa yang
didefinisikan selama ini, yakni, kata fungsi, yang dikontraskan dengan kata
utama atau cotent words. Perbedaannya
adalah bahwa dalam teori baru ini kata fungsi ini juga dapat membentuk frasa
pada halnya kata utama sehingga adapula frasa-frasa seperti Frasa Determiner
(FD), Frasa Komplementiser (FK), dan Frasa Infleksi (FI). Dengan demikian,
ungkapan this child berstruktur FD
dengan this sebagai kata inti dan child sebagai komplemennya.
3.
Keuniversalan dan Pemerolehan Leksikon
Dari
segi keuniversalan, pemerolehan leksikon tampaknya merupakan proses yang paling
sukar untuk dinyatakan secara universal, khususnya yang menyagkut jumlah dan
macam kata yang dikuasai anak. Dalam hal ini variabelnya terlalu banyak sehingga
jumlah dan macam kata yang dipeoleh akan sangat, kalau tidak sepenuhnya,
ditentukan oleh faktor-faktor seperti budaya, latar belakang keluarga, taraf
hidup keluarga, tingkat pendidikan keluarga, dan lokasi keluarga (desa atau
kota besar). Anak dari keluarga yang terdidik, yang dirumahnya terdapat banyak
buku bacaan, yang mampu membeli buku anak-anak tentu akan berbeda kosa katanya
dengan pembantu yang ada dirumah yang sama itu. Demikian pula anak disuatu
desa, apalagi terpencil, kemungkinan besarnya tidak akan memperoleh kosa kata
seperti computer, disket, apalagi hang.
Tidak
adanya patokan yang universal ini tampak pada hasil penelitian para ahli.
Nelson (1973 dalam Dromi, 1987: 19) menyatakan bahwa pada tahap ujaran satu
kata mamiliki 50 kosa kata, sebaliknya, Braunwald (1978 dalam Dromi 1987: 19)
menyatakan angka yang sama untuk umur 1;3 (12) (satu tahun, tiga bulan,
duabelas hari) tetapi pada umur 1;3 (0) jumlahnya menjadi 391. Penelitian tahun
1926 yang dilaporkan oleh Anisfield (1984 dalam Dromi 1987: 19) menunnjukkan
bahwa pada sekitar umur 1;6: 0 anak
memperoleh tiga sampai 22 kata baru; antara 1;8-2; 0 mereka memperoleh
154 kata baru. Anak Dromi (1989: 112), Keren,menunjukkan laju yang bervariasi
dari minggu ke minggu dan mencapai puncak kelajuan pada umur 1;4 dengan
memperoleh 111 kata baru dalam tiga minggu. Dia temukan pula bahwa sesudah umur
itu laju perkembangannya menurun untuk beberapa waktu.
Evec
Clark (1993: 3) mengungkapkan bahwa sejak umur 2;0 anak menambah sekitar 10
kata baru per hari sehingga pada umur 6;0 anak sudah akan memperoleh 14,000
kata. Bahwa pada awal tahap ujaran satu kata anak menambah kosa kata secara lamban umumnya diakui oleh para
peneliti. Pada sekitar umur 6;0 laju kecepatan ini bertambah, tetapi beberapa
bertambahnya masih menjadi perdebatan. Subjek Dormi (1973 dalam Dormi 1987: 20)
tedak secepat seperti subjek Dormi. Nelson mengatakan bahwa lajunya memang
berbeda-beda untuk tiap anak dengan pertambahan 10 sampai 66 per bulan. Dalam
tulisan terbarunya, Dromi (1999: 102) mengatakan bahwa perkembangan pada minggu
yang produktif pun hanya 44 kata, yang berarti bahwa rata-ratanya hanya 6 kata
per hari.
Sementara
itu tampak pula ada perbedaan kosa kata untuk produksi dan untuk komprehensi.
Karena komprehensi pada umumnya mendahului produksi maka jumlah kosakata untuk
kedua tatanan ini berbeda. Benedict (1979 dalam Fletcher dan Garman, 1981: 6)
menyimpulkan bahwa pada tahap awal pemerolehan,
saat anak pada tahap 50 kata, jumlah kosakata untuk komprehensif adalah lima kali lipat
dariproduksi. Sementara itu, E Clark menyatakan bahwa dibawa umur 1;0 anak
memahami beberapa kata, yang baru akan dia pakai tiga atau empat bulan
kemudian; anak yang lebih besar sudah dapat memahami tingkat perbandingan jauh
sebelum mereka dapat memakainya. Mereka juga dapat memahami bentuk derivasi
sebelum mereka sendiri dapat menderivasinya (1955: 245).
Dalam
hal kategori kata, sebagian besar peneliti berpandangan bahwa kata utama selalu
dikuasai lebih awal dari pada kata fungsi. Dari semua kata utama, kebanyakan
ahli berpandangan bahwa kata pertama
yang dikuasai awal adalah nomina. Bahkan linguis seperti Gentner (1982)
menganggapnya universal. Menurut Gentner ada perbedaan yang nyata antara nomina
dengan verba dari representasi batinya. Pada anak nomina secara tipikal merujuk
pada hubungan unsur yang abstrak dan beraneka ragam. Perbedaan inilah yang
menurut dia, menyebabkan mengapa nomina dikuasai terlebih dahulu. Jumlah nomina
yang banyak pada awal pemerolehan tampaknya mempunyai alasan yang rasional.
Hirsch- Pasek dan Golonkoff (1997: 5) memberikan lima alasan:
1. Nomina
adalah unit yang umumnya bertekanan kuat dalam kalimat
2. Nomina
dalam ujaran yang diarahkan kepada anak umumnya muncl dalam bentuk isolasi atau
pada akhir kalimat
3. Banyak
nomina yang diarahkan kepada anak cenderung merujuk pada benda konkret
4. Dalam
masukan, nomina sering dinyatakan dengan pemarkah
5. Nomina
sering disajikan kepada anak dengan peragaan fisik
Dal
hal ajektiva, adjektive yang berdimensi umum (besar) dikuasai lebih awal dari
pada yang dimensi khusus (panjang). Hal ini berkaitan dengan prinsip umum yang
dipakai anak, yakni bahwa anak pasda umumnya akan memiliki kata-kata yang dapat
dipakai dalam segala situasi. Kata besar dipakai untuk merujuk pada ular atau
pohon, tetapi panjang hanya merujuk ke ular dan tinggi hanya merujuk pada
pohon.
Untuk
memperoleh makna, biasanya dibedakan dua istilah: ekstensi (extension) dan intensi (intension).
Ekstensi merujuk kepada semua objek yang berupa, sedangkan intense kepada
seperangkat fitur yang melekat kepada objek tersebut. Diberi kata binatang,
maka ekstensinya adalah kerbau, kambing, kuda, sapi dst. Sedangkan intensinya
adalah benda bernyawa, berhidung satu, berkaki empat, bertelinga dua
dst.pendalaman intensi tidak mudah dilakukan karena fitur-fitur pada intensi
tidak hanya menyangkut pengetahuan tentang dunia (world knowledge) tetapi juga dapat dipengaruhi oleh budaya maupun
pengalam pribadi tiap individu.
Meskipun
ekstensi dapat dirinci menjadi empat sub kelompok (Dromi, 1987: 95-104), yang
umum terjadi pada anak adalah proses yang dinamakan underextensio (penciutan makna) dan overextension (penggelembungan makna). Penciutan makna terjadi bila
anak memakai suatu kata untuk hanya pada satu referen khusus saja. Bila seorang
anak memakai kata [dadah] dan dirujuk hanya boneka gajah saja, sedangkan patung
gajah di taman bermain bukan dinamakan gajah, maka anak tadi sedang melakukan
penciutan makna.
Masalah pengelembungan makna sangat sukar
ditentukan karena fitur yang terdapat didalamnya sangat luas; Bisa bentuk
tekstur, ukuran, atau gerakan (Clark & Clark, 1977: 492-94). Karena keaneka
ragaman seperti inilah kadang-kadang orang dewasa tidak memahami mengapa anak
mengidentifikasi sesuatu sebagai entitas yang menurut nalar orang dewasa tidak
kena. Anak, misalnya, mengganggap sandal yang berbulu halus sebagai kucing.
Kosa
kata adalah suatu komponen dalam bahasa yang terus berkembang tampa brerhenti.
Sebagai orang dewasa pun kita masih terus saja menambah berbendaharaan kata. Linguis seperti West
mengatakan bahwa untuk penutur asing dewasa, kosa kata sebanyak 2000 sudah
memadai untuk berkomunikasi dalam banyak hal (West 1953).
EmoticonEmoticon