Friday, April 12, 2013

AL-Fateha sebagairukun sembayang



  1. Al-Fatihah Sebagai Rukun Sembahyang
oleh karena al-Fatihah satu Surat yang menjadi Rukun (tiang) sembahyang, baik sembahyang fardhu yang lima waktu, ataupun sekalian sembahyang yang sunnat dan nawafil, maka dalam hal ini tidaklah cukup kalau kita hanya sekedar menafsirkan arti al-Fatihah, melainkan kita perlengkap lagi dengan hukum atau ketentuan Syariat berkenaan dengan al-Fatihah.
Segala sembahyang tidak sah , kalau tidak membaca al-Fatihah. tersebut dalam hadits-hadits:
Dan hendaklah dibaca pada tiap- tiap rakaat , karena Hadits :

1. Daripada Ubadah bin as-Shamit, bahwasannya Nabi s. a. w berkata: "Tidaklah ada sembahyang (tidak sah sembahyang) bagi siapa yang tidak membaca Fatihatil Kitab. " (Dirawikan oleh al-Jamaah)

2. Dan pada lafadz yang lain : " Tidaklah memadai sembahyang bagi siapa yang tidak mernbaca Fatihatil-Kitab." (Dirawikan oleh ad­Daruquthni, dan beliau berkata bahwa isnad Hadits ini sahih).

3. "Tidaklah diterima sembahyang kalau tidak dibaca padanya Ummul­Quran. "
(Dirawikan oleh Imam Ahmad)

Dengan hadits-hadits ini dan beberapa Hadits lain sama bunyinya, sependapatlah sebagian besar Ulama Fiqh bahwa tidak sah sembahyang selain daripada membaca al-Fatihah, walaupun Surat yang mana yang kita baca. Demikianlah Mazhab Imam Malik, Imam Syafi'i dan jumhur Ulama, sejak dari sahabat- sahabat Rasulullah, sampai kepada tabi'in dan yang sesudahnya. Oleh sebab itu baik Imam atau Makmum, wajiblah semuanya membaca al-Fatihah di dalam sembahyang.
"Dari Abu Qatadah, bahwasanya Nabi s. a. w adalah beliau tiap-tiap raka'at membaca Fatihatil- kitab." (Dirawikan oleh Bukhari)

Selain dari itu sunnah pula sesudah membaca al-Fatihah itu diiringkan pula dengan Surat-surat yang mudah dibaca dan dihapal oleh yang bersangkutan ; karena ada Hadits :

5. "Dia menyuruh kita supaya membaca al-Fatihah dan mana-mana yang- mudah. "
(dirawikan oleh Abu Daud daripada Abu Said al Khudri).

Berkata Ibnu Sayidin Nas : "Isnad Hadits ini shahih dan rijalnya semua dapat dipercaya."
Mengiringi al-Fatihah dengan surat-surat yang mudah itu ialah pada sembahyang Subuh dan dua rakaat permulaan dari sembahyang yang lain dan pada sembahyang Jum'at.
Kalau imam sedang membaca dengan jahar hendaklah makmum berdiam diri dan mendengarkan dengan baik. Yang boleh dibaca makmum sedang imam membaca hanyalah al-Fatihah saja, supaya bacaan imam jangan terganggu.
6. "Daripada Ubadah, berkata dia bahwa satu ketika Rosululloh s. a. w. Sembahyang Subuh, maka memberati kepadanya bacaan. Maka tatkala sembahyang telah selesai, berkatalah beliau : Saya perhatikan kamu membaca. Berkata Ubadah : Kami jawab : Ya Rosululloh, memang kami membaca. Walloh. Lalu berkata beliau : jangan lakukan itu, kecuali dengan Ummul Qur'an. Karena sesunggguhnya tidaklah sah sembahyang bagi barangsiapa yang tidak membacanya."
(Hadits dirawikan oleh Abu Daud dan Tirmidzi).
Dan sebuah Hadits lagi dari Ubadah juga; dengan lafadz lain:
7. Dari Ubadah bahwasanya Rosululloh s. a. w. pernah berkata: "sekali­ kali jangan seorangpun di antara kamu membaca sesuatu dari al-Qur'an, apabila aku menjahar, kecuali dengan Ummul Qur'an. "
(Dirawikan oleh Ad-Daruquthni)

Dan ada lagi beberapa Hadits yang lain yang bersamaan maknanya yaitu kalau imam menjahar, yang boleh dibaca oleh makmum di belakang imam yang menjahar itu hanyalah al-Fatihah saja, tetapi tidak boleh dengan suara keras, supaya jangan terganggu imam yang sedang membacanya.

Sungguhpun demikian ada juga perselisihan ijtihad di antara Ulama-ulama fikih tentang membaca di belakang iman yang sedang menjahar itu. Kata setengah ahli ijtihad, kalau imam membaca jahar, hendaklah makmum berdiam diri mendengarkan, sehingga al-Fatihahpun cukuplah bacaan imam itu saja didengarkan. Mereka berpegang kepada sebuah hadits

8. "Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rosululloh s.a.w. berkata: Sesungguhnya Imam itu lain tidak telah dijadikan menjadi ikutan kamu. Maka apabila dia telah takbir, hendaklah kamu takbir pula dan apabila dia membaca, maka hendaklah kamu berdiam diri. "
(Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Tirmidzi. Dan berkata Muslim: "Hadits ini Shahih")

Dan mereka kuatkan pula dengan ayat 204 dari pada surat 7 (Surat al-A'raf)

"Dan apabila dibaca orang al-Qur'an, maka dengarkanlah olehmu akan dia dan berdiam dirilah supaya kamu diberi rahmat. " (al-A'raf : 204)

Maka buah ijtihad dari golongan yang kedua ini, meskipun dihormati juga golongan yang pertama, tetapi tidaklah dapat menggoyahkan pendirian mereka bahwa walaupun Imam membaca jahar namun makmum masih wajib membaca al-Fatihah di belakang Imam. Sebab kata mereka baik hadits yang dirawikan Abu Hurairah tersebut, ataupun ayat dari akhir surat al A'raf itu ialah perintah yang aam, sedang hadits Ubadah dan Haditst-hadits yang lain itu adalah khash. Maka menurut ilmu Ushul dalam hal yang seperti ini ada undang-undangnya, yaitu:
"Membinakan yang aam atas yang khas adalah wajib"
Jadi kalau kita nyatakan secara lebih mudah dipahami ialah : Isi ayat surat al-A'raf ialah memerintahkan kita mendengar dan berdiam diri ketika Al-Qur'an dibaca orang. Itu aam atau umum di mana saja, kecuali ketika menjadi makmum di belakang imam yang menjahar. Maka pada waktu itu perintah mendengar dan berdiam diri itu tidak berlaku lagi, sebab Nabi telah mengatakan bahwa tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah. Maka kalau dia mendengarkan bacaan Imam saja dan berdiam diri, padahal dia disuruh membaca sendiri di saat itu tidaklah sah. sembahyangnya.

Hadits Abu Hurairahpun umum menyuruh takbir apabila Imam telah takbir dan berdiam diri, apabila Imam telah membaca. hiipun umum. Maka dikecualikanlah dia oleh hadits Ubadah tadi, yang menegaskan larangan Rasulullah membaca apa-apa juapun, kecuali al-Fatihah.
Dan datang pula sebuah Hadits Anas bin Malik, dirawikan oleh Tbnu Hibban, demikian bunyinya :

9. Berkata Rasulullah s. a. w. :
" Apakah kamu membaca di dalam sembahyang yang kamu di belakang Imam, padahal Imam sedang membaca ? Jangan berbuat begitu. Tetapi hendaknya membaca tiap seorang kamu akan Fatihatul Kitab di dalam dirinya. "
(Artinya, baca dengan tidak keras-keras)

Oleh sebab itu maka golongan pertama tadi menjalankari kedua maksud ini, yaitu mereka menetapkan membaca al-Fatihah, di belakang Imam yang menjahar, tetapi tidakboleh keras, supaya jangan terganggu Imam yang sedang membaca. Dan apabila telah selesai membaca al-Fatihah, merekapun menjalankan maksud hadits, yaitu berdiam diri mendengarkan segala bacaan Imam yang lain.

Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah, yang kalau ada orang yang berhenti sama sekali membaca a1-Fatihah karena berpegang pada Hadits Abu Hurairah dan ayat 104 surat al-A'raf tadi , pegangannya ialah semata-mata ijtihad hendaklah di hormati. Adapun penulis tafsir ini, kalau orang bertanya, manakah di antara kedua paham itu yang penulis merasa puas hati memegangnya, maka penulis menjawab :
" Aku memegang paham yang pertama , yaitu walaupun Imam menjaharkan bacaannya, namun sebagai makmum penulis tetap membaca al-Fatihah untuk diri sendiri. Karena payah penulis hendak mengenyampingkan Hadits yang terang tadi, yaitu tidak sah sembahyang barangsiapa yang tidak membaca al-Fatihah".

Adapun waktu membacanya itu, apakah seketika Imam berdiam diri sejenak, atau seketika dia membaca ? Maka Ulama-ulama dalam Mazhab Syafi'i, berpendapat boleh didengarkan Imam itu terlebih dahulu membaca a1-Fatihah dan dianjurkan supaya Imam berhenti sejenak mernberi kesempatan kepada makmum supaya mereka membaca al-Fatihah pula. Tetapi kalau Imam itu tidak berhenti sejenak, melainkan terus saja membaca ayat atau surat-surat yang mudah sehabis membaca al-Fatihah, maka sehabis Imam itu membaca al-Fatihah, terus pulalah si makmum membaca al-Fatihah sedang Imam itu membaca surat. Dan sehabis membaca al-Fatihah itu hendaklah si makmum berdiam diri mendengarkan apa yang dibaca Imam sampai selesai.

Di Antara Jahar Dan Siir
Selain daxi khilafiyah tentang Bismillah (Basrnallah) apakah dia terrnasuK ayat di pangkal suatu surat atau hanya dalam surat an­NaMl itu saja, timbul pula pertikaian pendapat tentang; apakah ketika membaca al-Fatihah dan Surat yang berikutnya pada sembahyang ­sembahyang yang dijaharkan , Imam mesti menjaharkan (membaca dengan keras) Bismillah juga ? Ataukah Bismillah dibaca dengan Siir ? Atau yang dijaharkan cuma al-Fatihah dan surat yang berikutnya saja ?
Golongan yang berpendapat bahwa hendaknya Basmallah itu dijaharkan dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w ialah : Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair. Dan yang menjaharkan dari kalangan Tabi'in ialah Said bin Jubair, Abu Qilabah, az-Zuhri, Ikrimah, Athaa', Thaawuus, Mujahid, Ali bin Husain, Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka'ab al Qurazhi, Ibnu Siirin, Ibnul Munkadir, Nafi' Maula Ibnu Umar, Zaid bin Aslam, Makhuul, Umar bin Abdil Aziz, Amir bin Dinar dan Muslim bin Khalid. Dan itu pula pilihan (Mazhab) Imam Syafi'i. Dan begitu pula salah satu pendapat dari Ibnu Wahab, salah seorang pemangku Mazhab Malik. Diriwayatkan orang pula, bahwa Tbnu Mubarak dan Abu Tsaur berpendapat menjaharkan juga.

Yang berpendapat bahwa Bismillahi itu di Siir-kan saja, (tidak dlbaca keras) oleh Imam, dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w ialah : Abu Bakar, Umar, Usman, Ali bin Abu T'halib, Ibnu Mas'ud, Ammaar bin Yasir, Ibnu Maghal dan lain-lain. Dan dari tabi'in, di antaranya ialah Hasan al-Bishri, asy-Syabi, Ibrahim an-Nakhali, Qatadah, al­A'masy dan as-Tsauri. Puluhan Mazhab dari Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal pun condong kepada membacanya dengan Siir.

Alasan dari yang memilih (Mazhab) jahar ialah sebuah Hadits yang dirawikan oleh jamaah daripada sahabat-sahabat,di antaranya Abu Hurairah dan isteri Rasulullah s.a.w. Ummu Salamah. Bahwasanya Rasulullah s.a.w menjaharkan membaca Bismillahir­Rahmanir-Rahim.
Kemudian itu ada pula satu riwayat dari Na'im bin Abdullah al­Mujmar. Dia berkata.
"Aku telah sembahyang di belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia membaca Bismillahir-Rohmanir-Rohim, setelah itu dibacanya pula Ummul Qur'an. Setelah selesai sembahyang diapun mengucapkan salam lalu berkata kepada kami , Sesungguhnya akulah yang lebih mirip sembahyangnya dengan sembahyang Rosululloh s. a. w ".
Hadits ini dirawikan oleh an-Nasai dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Lalu disambungkannya. "Adapun jahar Bismillahir­Rohmanir-Rohim itu maka sesunguhnya telah tsabit dan sah dari Nabi s.a.w ."
Hadits dirawikan pula oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan berkata al-Baihaqi : "Shahih isnadnya". Dan meriwayatkan pula ad-Daruquthni dengan sanadnya, daripada Abu Hurairah, daripada Nabi s.a.w :

10. "Adalah beliau apabila membaca sedang dia mengimami manusia, dibukanya dengan Bismillahir-Rahmanir-Rahim."

Ad-Daruquthni mengatakan isnad hadits ini semuanya boleh dipercaya. Dan hadits semacam inipun ada diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa memulai sembahyangnya dengan menjaharkan Bismillah. Tentang ini ada riwayat dari ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari al-Hakim.

Tetapi apabila kita selidiki agak lebih mendalam, sebagai yang dilakukan oleh Imam asy-Syaukani di dalam Nailul Authaar, tiap-tiap hadits yang jadi pegangan buat menjahar itu ada saja Naqd (kritik) terhadap perawinya, sehingga yang betul-betul bersih dari kritik tidak ada. Sampai Tirmidzi pernah mengatakan. "Isnadnya tidaklah sampai demikian tinggi nilainya."
Tetapi Nailul Authaar pun ada mengemukakan sebuah hadits lagi:
11. "Ditanyakan orang kepada Anas, Bagaimana bacaan Nabi s. a. w . Maka diapun menjawab : Bacaan Nabi adalah panjang. Kemudian beliau (Abu Hurairah) baca Bismillahir-Rahman-Rahim, dipanjangkannya pada Bismillah dan dipanjangkannya pula pada Ar-Rahman, dan Ar-Rahim. " (Dirawikan oleh Bukhari)
Pendapat yang menjahar tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau tidak didengarnya. Adapun yan menafikan jahar dan yang memandang lebih baik siir saja , mereka berpegang pula
kepada hadits :

12. "Daripada Abdullah bin Mughaffal : Aku dengar ayahku berkata padalzal aku membaca Bismillahir-RahmanirRahim. Kata ayahku : Hai anakku ! Sekali-kali jangan engkau mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu : Tidak ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah s. a. w. dan bersama Abu Bakar, bersama Umar dan bersama Usman, maka tidaklah pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah Alhamdulillahi Rabbil `Alamin. "
(Dirawikan oleh berlima , kecuali Abu Daud) Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi.
Hadits inipun dikaji orang dengan seksama. Al-Jariri merawikannya seorang diri. Sedang al-Jariri ini jadi perbicangan orang pula. Sebab setelah dia tua, pikirannya kacau, sebab itu hadits yang dirawikannya diragukan. Kemudian Abdullah bin Mughaffal, yang jadi sumber pertama hadits ini. Setengah ahli hadits mengatakan bahwa dia itu majhul (seorang yang tidak dikenal).
Kemudian terdapat pula sebuah hadits dari riwayat Anas pula :

13. "Daripada Anas bin Malik, berkata dia : Aku telah sembahyang bersama Rasulullah s. a. w., Abu Bakar, Umar dan Usman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun daripada mereka yang membaca Bimillahir­Rahmanir Rahim. "
(Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim)

Dan beberapa hadits lagi yang sama artinya, semuanya dari Anas. Dan tambahan perkataan dari riwayat Tbnu Khuzaimah : "Mereka semuanya membaca dengan Siir"
Jelaslah sekarang bahwa jika ada di kalangan sahabat-sahabat Nabi sendiri yang menetapkan Jahar, memang ada hadits tempat mereka berpegang, yaitu riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat sendiri. Dan jika ada pula yang mengatakan bahwa rnereka tidak pernah mendengar Nabi menjaharkan Bismillah. Artinya keduanya sama-sama ada pegangan.

Jelas pula terdapat dua riwayat yang berlawanan, datang dari satu orang, yaitu Anas bin Malik, yaitu sahabat Rasulullah dan pelayan beliau 10 tahun lamanya.
Diriwayatkan yang pertama yang kita salinkan di atas , nyata sekali Anas mengatakan bahwa Nabi membaca Bismillahir-Rahmanir-Rahim, dengan panjang : Bismillahnya panjang. Ar-Rahmannya panjang dan Ar-Rahimnya panjang pula. Timbul pertanyaan sekarang, dari mana beliau tahu bahwa Rasulullah s.a.w. membaca masing-masing kalimat itu dengan panjang (Madd), kalau tidak didengarnya sendiri ?

Kalau kita kembali saja kepada Qaidah Ushul fikih dan Ilmu hadits tentu kita dapat menyimpulkan :

"Yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menidakkan. "
Artinya, riwayat Anas yang mengatakan Rasulullah s.a.w. baca Bismillah panjang, Ar-Rahman panjang dan Ar-Rahim panjang itulah yang didahulukan. Oleh sebab itu Bismillahi-Rahmanir-Rahim kita Jaharkan dan Maddkan membacanya. Ini namanya menetapkan hukum ada Jahar.

Tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar sebagaimana yang disalinkan oleh as-Syaukani di dalam Nailul Authaar telah mendapat jalan keluar dari kesulitan ini, katanya:
"Hal ini bukanlah semata-mata karena mendahulukan hadits yang menetapkan hukum (jahar) daripada yang menafsirkan (siir). Karena amat jauh dari penerimaan akal kita bahwa Anas yang mendampingi Abu Bakar, Umar dan Usman dua puluh lima tahun dan mendampingi Nabi s.a.w sebagai sahabat sepuluh tahun lamanya, tidak sekali juga akan mendengar mereka menjahar agak sekali sembahyangpun. Tetapi yang terang ialah bahwa Anas sendiri mengakui bahwa dia tidak ingat lagi (sudah lupa) hukum itu. Karena sudah lama masanya tidak dia ingat lagi dengan pasti, apakah mereka (Nabi s.a.w. dan ketiga sahabat itu) memulai dengan Alhamdulillah secara jahar atau dengan Bismillah. Lantaran itu jelaslah diambil hadits yang menetapkan jahar.
"Sekian penjelaskan al-Hafizh Ibnu Hajar.
Keterangan Ibnu Hajar diiperkuat lagi dengan as-Syaukani dalam Nailul Authaar, katanya :
"Apa yang dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar dikuatkan oleh sebuah hadits yang menjelaskan bahwa memang Anas tidak ingat lagi soal itu. Yaitu hadits yang dirawikan oleh ad-Dar uquthi dari Abu Salamah, demikian bunyinya"
"Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah s. a. w membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillah RahmanirRahim ?Beliau menjawab : Engkau telah menanyakan kepadaku suatu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau. Lalu saya tanyakan pula. Apakah ada Rasululluh s. a. w sembahyang dengan memakai sepasang terompah ? Beliau jawab : Memang ada !"

Dengan demikian selesailah soal dua Hadits Anas, bukan bertentangan, melainkan menambah cenderung kita kepada Jahar ! Setelah kita selidiki dengan seksama, semua Hadits yang membicarakan di antara jahardan siirBi,smillahir-Rahmanir-Rahim itu, jelas bahwa pedoman dari kata-kata atau sabda s.a.w sendiri (Aqwalun Nabi) tidak ada, yang memerintahkan menjahar atau menyuruh mensiirkan, dan sebaliknya.
Yang jadi pedoman ialah riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat beliau. Baik yang menguatkan menjahar atau yang memilih siir saja. Dan setelah diselidiki pula semua sanad hadits­hadits itu, ada saja pembicaraan orang atasnya, baik hadits yang mengatakan jahar atau yang mengatakan siir.
Malahan terdapat dua riwayat berlawanan di antara jahar dan siir dari satu orang. Sebab itulah masalah ini termasuk masalah khilafiyah masalah yang dipertikaikan orang. Atau termasuk masalah ijtihadiyah, artinya yang terserah kepada pertunbangan ijtihad masing-masing ahlinya.
Dalam hal ini terpakailah Qa'idah Ilmu Ushul yang terkenal.
"Ijtihad tidaklah dapat disalahkan dengan ijtihad pula. "
Sampai Ibnu Qayyim di dalam Zaadil-Maad mengambil satu jalan tengah. Dia berkata :
"Sesungguhnya Nabi s.a.w adalah menjaharkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim sekali-kali dan membacanya dengan siir pada kebanyakan kali. Dan tidak syak lagi, tentu tidaklah beliau selalu menjaharkan tiap hari dan tiap malam lima kali selama-lamanya, baik ketika dia sedang berada dalam kota ataupun sedang dalam perjalanan, akan tersembunyi saja yang demikian itu bagi Khalifah-khalifahnya yang bijak dan bagi Jumhur sahabat-sahabatnya dan ahli sejamannya yang mulia itu. Ini adalah hal yang sangat mustahil, sehingga orang perlu menggapai-gapai ke sana ke mari mencari sandaran dengan kata­kata yang Mujmal dan hadits-hadits yang lemah. Meskipun hadits ­hadits yang diambil itu ada yang shahih, namun dia tidaklah sharih, dan meskipun ada yang sharih , tidak pula dia shahih:" Sekian kata Ibnu Qayyim.

Berkata al-Imam as-Syaukani selanjutnya di dalam Nailul­Authaar :
"Dalam soal Ikhtilaf (perkara jahar dan siir Bismillah) ini, paling banyak hanyalah khilafiyah dalam soal Mustahab atau Masnuun. Maka tidaklah soal menjaharkan atau mensiirkan bacaan ini merupakan sembahyang atau membatalkannya. Ijma' Ulama bahwa soal siir dan jahar itu tidaklah membatalkan sembahyang. Oleh karena itu janganlah engkau terpesona pula mengikuti setengah Ulama yang memperbesar-besar soal ini dan mengobar-ngobarkan khilafiyahnya, sehinggga setengah mereka itu sampai memandangnya sebagai satu soal yang mengenai Itikad." Demikian kata as-Syaukani.

Tersebut pula dalam kitab Nailul Authaar, menurut berita dari Ibnu Abi Syaibah, bahwa an-Nasai' pernah berkata. "Menjaharkan Bismillahir-Rahmanir-Rahim itu adalah bid'ah."
Ibrahim bebas dengan pendapatnya, tetapi orang lain yang turut pula mencap bid'ah orang yang menjaharkan Bismillah, berkata demikian hanyalah karena taklidnya belaka kepada Ibrahim.
Orang ini bebas buat tidak menjaharkan Bismillah, tetapi menuduh orang lain, termasuk sahabat-sahabat perawi hadits sebagai Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah jadi tukang bid'ah, adalah suatu perbuatan yang jauh daripada sopan santun agama.

Agak panjang kita uraikan jahar atau siir Bismillah ini dalam "Tafsir" ini , gunanya ialah buat menunjukkan bahwa dalam ranting-ranting (furu'-furu') syari'at banyak terdapat hal semacam ini.
Di dalam gerakan hendak kembali kepada al-Qur'an dan hadits pasti terdapat soal-soal, yang meskipun kita telah kembali ke dalam al-Qur'an dan hadits itu , namun kita tidak juga dapat mengambil keputusan pasti, kecuali denggan ijtihad atau dengan taqlid. Bagi yang sanggup dan telah cukup syarat, niscaya dia berijtihad dan bagi yang belum ahli niscaya dia taqlid saja kepada yang pandai, walaupun dia bersorak-sorak menyatakan dia tidak taqlid.

Di negara kita selama ini telah timbul soal-soal khilafiyah atau ijtihadiyah semacam itu. Seumpamanya dijaharkanlah Bismillah atau disiirkan, dibaca al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar atau tidak dibaca. Untuk mengambil satu di antara pendirian, tidak lain adalah ijtihad. Sebab itu, meskipun setengah orang mendakwakan bahwa dia tidak lagi berpegang dengan satu Mazhab sendiri, dengan pengikut sendiri pula.

Karena tidak dapat menundukkan soal menurut keadaan yang sebenarnya dan tidak dapat pula memberikan penjelasan kepada pengikut, timbullah perselisihan dan pertentangan batin yang tidak dikehendaki. Ada di beberapa tempat satu "Muballiqh" mendabik dada mengatakan bahwa yang benar adalah pegangannya sendiri, bahwa Bismillah mesti disiirkan, dan barangsiapa yang menjaharkan Bismillah adalah berbuat bid'ah. Atau ada "keputusan" dari satu golongan, yang benar adalah bahwa al-Fatihah di belakang Imam yang menjahar tidak boleh dibaca. Sebab menurut keterangan gurunya, menurut al-Qur'an dan hadits, bid'ah lah barangsiapa yang membaca al-Fatihah juga di belakang Imam yang menjahar. Dan sebagainya, dan sebagainya.

Dengan sebab demikian maka perkara khilafiyah atau ijtihadiyah yang begitu lapang pada mulanya, telah menjadi sempit dan rnembawa fitnah dan perpecahan, dan tidak lagi menurut ukuran yang sebenarnya sebagaimana yang tersebut di dalam kitab-kitab Ushul fikih, yaitu kebebasan ijtihad, dan ijtihad tidaklah Qathi (pasti), melainkan Zhanni (kecenderungan) paham. Dan tidak lagi hormat-menghormati paham, sebagaimana yang dikehendaki oleh agama.

Timbul mau menang sendiri, yang tidak dikehendaki agama. Apatah lagi setelah orang awam bersikeras mempertahankan suatu pendirian yang telah dipilihkan oleh guru-guru.

Al-Fatihah Dengan Bahasa Arab
Tadi di atas telah kita nukilkan sebuah hadits bahwasanya sembahyang tidaklah sah kalau tidak membaca al-Fatihah. Dan hendaknya dia dibaca pada tiap-tiap raka'at. Oleh sebab itu menjadi jelaslah bahwa wajib bagi kita menghapalnya di luar kepala. dan menjadi wajiblah kita tahu akan maknanya, supaya sesuai bacaan mulut kita dengan arti terkandung dalam hati.
Ada satu saran yang amat berbahaya di jaman-jaman akhir ini, yaitu membaca bacaan sembahyang dengan bahasa Indonesia.. Katanya karena mempertahankan bahasa nasional. Kalau saran itu berjalan, terancamlah kita oleh bahaya rohani yang besar sekali, yaitu : kita terputus dari pangkalan agama kita, dari keasliannya yang diterima dari "Nabi Muhammad s.a.w.. Kecintaan kita kepada bahasa dan bangsa kita bukanlah berarti merusakkan pusaka akidah dan kepercayaan yang telah kita anut. Di antara hidup kita sebagai orang Islam tidaklah dapat dicerai-tanggalkan dari al-Qur'an. Kata-kata yang menyarankan sembahyang dengan bahasa nasional itu dengan tidak disadari adalah sisa-sisa peninggalan penjajahan yang 350 tahun lamanya mencoba merubah cara kita berpikir.

Di dalam bangsa penjajah mencoba menghilangkan pengaruh bahasa Arab itu, penjajah berusaha keras memasukkan bahasanya sendiri. Sampai saat sekarang ini (1965), sudah 20 tahun kita mencapai kemerdekaan bangsa, masih ada orang yang sukar berbicara dalam bahasa nasionalnya dan lebih gampang lidahnya berbicara dalam bahasa Belanda. Padahal pramasastra dan tatabahasa kita yang berpokok pangkal dari bahasa Melayu lebih berdekat dengan bahasa Arab daripada dengan bahasa Belanda. Kalau kita dalam bahasa kita menyebut nama negeri Bukuttinggi, bukan High Moutain yang kalau diartikan ke bahasa kita menjadi Tinggi Bukit. Kalau kita menyebut dalam bahasa kita Rumahku dalam bahasa Arabnyapun disebut Baiti, yang artinya rumahku juga, bukan Mijn Huis, yang berati Saya Rumah, atau aku rumah, sehingga untuk lebih dipahami terpaksa ditambah mnejadi saya empunya rumah.

Meskipun berangkali kita bangsa-bangsa Indonesia terkernudian memeluk Islam dari bangsa Persia dan bangsa Turki, namun lidah bangsa kita di dalam mengucapkan bahasa Arab, tidaklah kalah dengan lidah mereka, malahan kadang-kadang lidah bangsa kita lebih fasih. Ini diakui oleh bangsa Arab sendiri. Namun begitu dari bangsa ­bangsa itu tidak ada percobaan hendak menukar bacaan sembahyangnya dengan bahasa mereka sendiri. Di satu masa ada gerakan Syu'ubiyah namanya di Persia, yaitu kira-kira pada abad ke tiga dan empat Hijriyah, yang maksudnya hendak memungkiri kelebihan bangsa Arab dari pada bangsa-bangsa yang lain, yang tergabung dalam Islam. Namun tidak ada gerakan hendak menukar bacaan sebahyang bahasa Arab itu ke dalam bahasa Persia. Memang ada seorang Imam besar Islam, Imam Hanafi pernah menyatakan Ijtihad, bahwa tidak mengapa jika orang yang baru masuk Islam belum sanggup membaca al-Fatihah dalam bahasa Arabnya , sebelum dapat dan lafadz kata beliau bolehlah sementara dia memakai bahasa Per­sia.

Tetapi Fatwa beliau itu tidak mendapat sambutan, malahan murid-murid mengatakan pendapat yang membantah pendapat itu. Lebih baik diam mendengar imam membaca, sebelum pandai membacanya, daripada membacanya dengan bahasa lain, yang bukan bahasa aslinya. Sedangkan menukar lafadz al-Fatihah, meskipun dalam bahasa Arab juga, lagi tidak sah, apatah lagi menukarnya dengan bahasa lain. Dan sudah sepakat ahli-ahli penyelidik bahwa satu bahasa kalau telah dipindahkan ke bahasa lain, tidak lagi tepat menurut maknanya.

Karena siasat hendak memisahkan diri dari mengaruhArab, Musthafa Kemal Attaturk pernah memerintahkan menerjemah Adzan ke bahasa Turki. Tetapi setelah dia mati, dikembalikan orang ke bahasa Arab karena dengan diterjemah itu telah hilang sari dan mengaruhnya.
Dan setelah Partai Demokrasi Jalal Bayar mengadakan kampanye pemilihan umum melawan Partai Republik pusaka Kemal Attaturk, janjinya hendak mengembalikan azan ke bahasa Arab itulah yang menyebabkan kemenangannya. Sebab meskipun sudah sekian puluh tahun Partai Republik berkuasa yang beusaha hendak men­Turkikan segala yang dipandang berbau Arab, rupanya masih tetap sebagai minyak dengan air saja hubungan dengan Rakyat yang masih beragama, yang masih mengmbil kekuatan jiwanya dari al-Qur'an.

Oleh sebab itu tetaplah baca al-Fatihah dalam setiap rakaat sembahyang dalam bahasa aslinya, dalam bahasanya yang diterima dari Nabi s.a.w.. Pelajari bacaanya itu kepada yang ahli mempergunakan hurup-hurupnya menurut tajwidnya (pronounciation) yang betul. Dan dalam hukum agama, nyatalah bahwa mempelajari bacaan al-Fatihah dan mengetahui artinya dalam fardhu `ain, wajib bagi tiap-tiap muslim. Dan saran yang hendak membaca saja terjemahnya itu bukan lagi dari berpikir secara Islam, melainkan dengan tidak disadari telah kemasukan pikiran orang lain yang hendak meruntuhkan Islam.
Kalau kita merasa berat menerima pendapat Imam Syafi'i r.a. yang mengatakan wajib bagi setiap muslim mengetahui bahasa Arab, namun di dalam melakukan sembahyang dengan segala bacaanya dan khusus mengenai bacaan al-Fatihah, berpikir secara Islam yang sehat pasti menerima apa yang dikatankan Imam Syafi'i itu. Betapa tidak ! Sedang sembahyang adalah tiang agama.

Dalam sembahyang kita menghadapkan wajah hati kita kepada Tuhan, mengemukakan segala puji-pujian dan permohonan sebagai yang tersebut di dala m al-Fatihah itu. Dan hendaklah sembahyang itu kita kerjakan dengan khusyu merendahkan diri. Bagaimana khusyu akan tercapai kalau kita tidak mengerti apa yang kita katakan ? Bagaimana sembahyang akan menajdi tiang agama, kalau kita mengerjakannya hanya karena keturunan saja ? Bukan dari keinsyafan ?

Oleh sebab itu hendaklah dalam rumah tangga Islam, Ayah dan Bunda mengajar anaknya sedari kecil membaca al-Qur'an. Sekurang ­kurangnya buat pertama kali ialah diajarkan al-Fatihah, supaya dapat dipakainya untuk sembahyang.
Kalau ada orang mengatakan bahwa belajar al-Fatihah itu sukar, maka yang berkata begitu maka orang yang hatinya telah jauh dari Islam. Sebab sejak agama Islam rnenjadi anutan bangsa kita seribu tahun yang lalu, di Indonesia dengan seluruh kepulauan ini orang telah membaca al-Fatihah, tidak ada yang mengatakan sukar. Lidah anak hendaklah difasihkan sejak kecilnya. Kalau orang tua tidak sanggup mengajarnya, panggilah guru ke rumah.

Kalau seorang tidak juga pandai membaca al-Fatihah, maka Nabi s.a.w tidak juga ada mengajarkan atau membolehkan bacaan lain. Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Daud, an-Nasal', Imam Ahmad, Ibnul Jarud, Tbnu Hibban dan ad-Daruquthni :

17. "Bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi s. a. w lalu berkata : Sesungguhnya aku tidak sanggup mengambil bacaan dari al-Qur'an walaupun sedikit. Oleh sebab itu ajarkanlah kepadaku sesuatu bacaan yang akan dapat memberi pahala bagiku pada sembahyangku. Maka berkatalah beliau : Bacalah Subhanallah,Alhamdulallah, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, La Haula wala Quwwata illa Billahi ".

Hadits ini menunjukkan, bahwa kalaupun tidakpandai membaca al-Fatihah, rnaka untuk menggantinya tidak boleh dengan ucapan lain, melainkan dzikir-dzikir yang tersebut itu. Namun sernbahyang dengan bahasa yang lain tidak juga boleh.

Oleh sebab itu telah termasuk ibadat, tidaklah boleh lagi kita tukar daripada apa yang diajarkan oleh Nabi. Dan kalau a1-Fatihah tidak pandai dan dzikir-dzikir yang tersebut itupun tidak pandai, bolehlah mengikut Iman dengan mendengarkan bacaan Imam, sebagaimana telah dibukakan pahamnya oleh ijtihad yang kita sebutkan tadi. Tegasnya, lebih balk berdiam diri mendengarkan imam marribaca, daripada mengerjakan sembahyang dengan bahasa yang lain, atau dengan terjemahan al-Fatihah. Sebab terjernahan itu tidak jugalah akan tepat seratus persen dengan kehendak isi aslinya.

Ini mungkin dan bisa kejadian pada seorang Muallaf yang baru masuk Islam, yang sesudah dia mengucapkan dua kalimah syahadat, dia sudah wajib sembahyang, padahal dia belum tahu baik zikir atau al-Fatihah. Dalam pada itu ia wajib belajar sehingga tidaklah lama dia hanya mendengar saja.

Kesimpulan
Renungkanlah pengertian al-Fatihah sebaik -baiknya, niseaya akan terasa bahwa dia bukan semata-mata bacaan untuk ibadat, tetapi mengandung juga bimbingan untuk membentuk pandangan hidup muslim. Mula-mula dipusatkan seluruh kepercayaan kepada Allah dengan sifatNya Yang Maha Pemurah darl Penyayang, disertai dengan KeadilanNya yang berlaku sejak dari dunia lalu ke negeri akhirat. Dan bila kita renungkan pula pengertian dan pengakuan kita, bahwa yang kita sembah hanya Dia dan tempat kita memohonkan sesuatu hanya Dia. Sampailah kita kepada Islam yang sejati. Setelah kita akui bahwa hanya Dia yang kita sembah, baruiah kita. mengajukan perrnohonan. Jangan sampai terbalik, sebagai kebanyakan orang-orang ghafil, yang lebih dahulu memohon dan kemudian baru beribadah.

Sesudah pengakuan yang demikian, kita kemukakan permohonan yang pertama dan utama, yaitu meminta ditujuki jalan yang lurus. Maka tidaklah kita meminta kepada Tuhan agar diberi benda, diberi roti buat makanan hari ini, sebagi bacaan sembahyang orang Kristen. Karena apabila mengenal (ma'rifat) kita kepada Tuhan telah mendalam, tidaklah kita mengemukakan permohonan yang kecil-kecil dan remeh itu lagi, melainkan kita minta yang pokok, yaitu jalan lurus dalam menempuh hidup, dan apabila permohonan itu telah kita iringi supaya dikaruniai jalan yang dinikrnati, timbullah pada kita cita-cita yang tinggi di dalam martabat iman, setaraf dengan kehidupan Rasul­rasul, Nabi-nabi, Syuhada dan Shalihin. Bahkan di dalam surat al­furQan (Surat 25 ayat 74) kita disuruh berdo'a yang jangan tanggung­tanggung jangan halang kepalang.

Kita disuruh berdoa agar Tuhan menjadi IMAM dari orang-orang yang MuttaQin, artinya menjadi contoh teladan bagi orang lain. Dan setelah kita memohonkan agar kiranya kita diselamatkan Tuhan, jangan tertempuh jalan yang dimurkai Allah dan jangan pula jalan yang sesat, dengan secara tidak langsung kita sudah disuruh mempelajari ilmu sejarah, filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi), dan juga ilmu jiwa. Kita harus mempelajari bagaimana sebab-sebab sesuatu umat atau kaum naik martabatnya atau jatuh pamornya.

Dan dengan sendirinya, bila al-Fatihah kita renungkan dapatlah kita pahamkan bahwasanya yang kita pegang di dalam hidup ini ialah dua tali. Pertama tali dengan Allah, kedua tall dengan Alam, termasuk manusia sebagai alam yang lebih penting dan kita termasuk pula di dalamnya.

Al-Fatihah inilah yang kita ulang-ulang membacanya setiap hari, sekurang-kurangnya 17 kali sehari semalam. Moga-moga selain dari dia menjadi Fatihatul kitab, pembukaan dari al-Qur'an, diapun akan membuka hati sanubari kita sendiri, sehingga hilanglah segala ragu­ragu dan terbukalah pintu Hidayat, sehingga dia menjadi dasar persediaan bagi kita buat mengenal lagi seluruh isi al-Qur'an yang mengandung 6.236 ayat itu.

Kita misalkanlah sembahyang lima waktu, yang terdiri daripada 17 raka'at, sebagai menghadap Tuhan yang routine, yang wajib dilakukan dengan berkala. Bagaimanakah lagi kesannya ke dalam jiwa kita, bila kita ikuti lagi dengan Shalat Nawafil, sembahyang sunat ? Sembahyang Sunat Nawafil disediakan Tuhan, dengan perantaraan RasulNya, untuk orang yang merasa belum puas dengan pertemuan "resmi" saja. Pertemuan di luar "dinas" kadang-kadang lebih mesra daripada pextemuan yang "routine".

Dimulai segala sembahyang itu dengan Allahu Akbar, artinya dibulatkczn ingatan kepada Tuhan, dan diakhiri dengan Assalamu'alaikum. artinya kita kembali lagi ke dalam masyarakat dan intinya ialah al-Fatihah.

Bertali dengan ketentuan agama bahwasanya sembahyang lima waktu, sembahyang Jum'at, sernbahyang dua Hari Raya dan sembahyang dua gerhana, dianjurkan sangat supaya berjama'ah. Jama'ah kecil-kecilan di antara keluarga di rumah , jamaah sekampung atau selorong di dalam sebuah surau kecil kepunyaan kampung. Jama'ah lebih besar sekali Jum'at, di dalam sebuah Masjid Jam', jama'ah dua Hari Raya, jama'ah gerhana bulan dan matahari dan jama'ah memohon hujan (istisqaa). Dan jama'ah besar dan agung, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup dengan wuquf di Arafah waktu Haji. Semua jama'ah ini membuat seorang muslim menjadi anggota masyarakat yang aktif, sehingga terbentuklah masyarakat Is­lam, ukhuwah Islarniyah dan Mu'awanah `alal birri wat-taqwa. Semuanya sama bacaanya yaitu surat al-Fatihah.

Dan di dalam jama'ah itupun dididik hidup yang berdisplin. Jama'ah mempunyai imam dan yang selebihnya menjadi makmum. Bahkan di jaman nabi dan sahabat-sahabatnya, imam sembahyang berjamaah ialah Nabi, Khalifah-Khalifah, Gubernur (Wali) di tiap­tiap negeri. Tidak boleh seorang makmum mendahului mengangkat kepalanya seketika ruku dan sujud sebelum imam. Sampai ada hadits mengatakan bahwa barangsiapa yang mengangkat kepalanya terdahulu daripada imam rnengangkat kepala, maka kapalanya itu akan berganti menjadi kepala keledai.

Al-Fatihahpun mendidik kita memakai adab sopan-santun yang tertinggi. Adab sopan-santun yang tinggi itu dimulai terhadap kepada Tuhan akan membawa kesannya pula kepada sikap hidup kita dalam masyarakat, perhatikanlah susunan ayat yang tujuh itu.

Pada ayat pertama "Bismillahir-Rahmanir-Rahim", kita memujikan sifat Rahman dan RahimNya. Sesudah itu pada ayat kedua "Alhamdulillahi Rabbil `Alamin" kita puji Dia, kita sanjung Dia, sebab Dia yang menjadikan alam ini tempat kita hidup. Pada ayat ketiga kita ulang lagi menyebut sifat Rahman dan RahimNya itu. Di ayat keempat "Maliki Yaumiddin", kita mengakui bahwa kekuasaanNya itu bukan meliputi hari sekarang saja, bahkan berlanjut lagi kepada yang diseberang hidup ini. Setelah selesai kita akui segala

Rahman dan Rahim, segala puji dan kekuasaan dunia akhirat hanya Dia yang empunya, tidak ada dicampuri yang lain, barulah kita menunjukkan sikap hidup pada ayat kelima

Oleh sebab itu kita menyembahNya adalah dengan kesadaran bahwa hanya Dia yang patut disembah. dan memohon pertolongan kepadaNya, karena memang hanya Dialah yang sanggup mengabulkan segala permohonan.

Sesudah pengakuan ini barulah kita langsung saja mengemukakan permohonan, sebelum kita mengenal atau menyebut tuah kebesaran dari tempat kita memohon itu. Adalah sangat tidak sopan orang langsung saja mengemukakan satu keinginan, sebelum dengan tulus ikhlas dia mengakui kemulian dari pada tempatnya memohon.
Kita mempunyai nyawa atau roh, dan roh itupun hendaklah dijiwai pula. Agama Islam adalah suatu agama yang menjadi roh dari roh kita. Tidak beragama sama artinya dengan mati, walaupun kita masih hidup. Dan al-Fatihah adalah isinya yang utama, sehingga dengan memahamkannya kita dapat mencapai hakikat hidup. Amin


Artikel Terkait


EmoticonEmoticon